Kamis, 29 September 2011

Sejarah politik

Sejarah politik

Sejarah politik adalah analisis peristiwa-peristiwa politik, narasi (oral history) [1], ide, gerakan dan para pemimpin[2] yang biasanya disusun berdasarkan negara bangsa dan walaupun berbeda dengan ilmu bidang sejarah akan tetapi tetap berhubungan antara lain dengan bidang sejarah lain seperti sejarah sosial, sejarah ekonomi, dan sejarah militer.
Secara umum, sejarah politik berfokus pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan negara-negara dan proses politik formal. Menurut Hegel, Sejarah Politik "adalah gagasan tentang negara dengan kekuatan moral dan spiritual di luar kepentingan materi pelajaran: itu diikuti bahwa negara merupakan agen utama dalam perubahan sejarah" [3] Ini salah satu perbedaan dengan, misalnya, sejarah sosial, yang berfokus terutama pada tindakan dan gaya hidup orang biasa[4], atau manusia dalam sejarah yang merupakan karya sejarah dari sudut pandang orang biasa.



SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Materi Perkuliahan Sistem Politik Indonesia
Tanggal 28 Maret 2006
Oleh Uwes Fatoni, M.Ag
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik
PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
· Penyaluran tuntutan
· Pemeliharaan nilai
· Kapabilitas
· Integrasi vertikal
· Integrasi horizontal
· Gaya politik
· Kepemimpinan
· Partisipasi massa
· Keterlibatan militer
· Aparat negara
· Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
· Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
· Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
· Kapabilitas – SDA melimpah
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
· Gaya politik - kerajaan
· Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
· Partisipasi massa – sangat rendah
· Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
· Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
· Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
· Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
· Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
· Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
· Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
· Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
· Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
· Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
· Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
· Keterlibatan militer – sangat besar
· Aparat negara – loyal kepada penjajah
· Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
· Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
· Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
· Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
· Gaya politik - ideologis
· Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
· Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
· Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
· Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
· Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
· Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
· Gaya politik – ideolog, nasakom
· Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
· Partisipasi massa - dibatasi
· Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
· Aparat negara – loyal kepada negara
· Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
· Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
· Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
· Kapabilitas – sistem terbuka
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal - nampak
· Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
· Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
· Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
· Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
· Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
· Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
· Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
· Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
· Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
· Gaya politik - pragmatik
· Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
· Partisipasi massa - tinggi
· Keterlibatan militer - dibatasi
· Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
· Stabilitas - instabil



Politik Indonesia Sejak 1950-1965
Cuplikan Buku
Negara Kesatuan Republik Indonesia baru diumumkan pembentukannya sejak taanggal 15 Agustus 1950, maka era Republik Indonesia Serikat berakhir. Berakhirnya RIS membawa dampak positif yakni berakhirnya sistem federal. Sedangkan, sisi negatifnya yakni revolusi fisik yang belum berakhir, dan persoalan mengenai tata negara.
Persoalan itu berupa penyatuan perspektif kebangsaan. Perspektif yang menjadi soal adalah perspektif mengenai masalh kemiliteran, pemerintahan dan legislatif. Masalah kemiliteran berupa integrasi mantan tentara KNIL dn KL masuk kedalam Tentara nasional Indonesia. Penyatuan unsur itu juga timbul berbagai gangguan-ganguan keamanan.
Pada sektor pemerintahan berupa penyatuan aparat Republik Indonesia dengan federal. Masalahnya yakni berupa pembahasan tentang struktur kementerian dan pemerintah yang panjang. Kemudian, maslah yang mencolok adalah masalah tentang gaji. Gaji bagi pegawai federal lebih tinggi daripada gaji pegawai Republik Indonesia. Gaji pegawai berasal dari pemerintah NICA, sementara gaji pegawai Republik Indonesia berasaal dari kas negara yang notabene kas negara masih kosong.
Masalah legislatif belum bertemunya kesepakatan tentang supra struktur politik. Kekuasaan yang dibagi menjadi eksekutif, legisltif, dan yudikatif belum mencapai kata final. Kesepakatan pembentukn itu tergantung sekali pada parati-partai politik sebagai wadah aspirasi masyarakat. Terhitung sejak Agustus sudah ada 27 partai politik yang berdiri. Partai sebagai landasan pertama untuk membentuk kelengkapan insfrastruktur. Melalui parati pemerintahan bisa dibentuk, kemudian berlanjut pada pembentukan legislatif, yudikatif dan militerisme. Jadi pada tahun antara 1950-1957 disebut sebgai era pemerintahan partai-partai.
Era partai politik berakhir sampai pada tahun 1957. Pada tahun 1957 Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandat. Pengembalian mandat menjadikan kekacuan bagi sistem politik di Indonesia dengan munculnya berbagai interpretasi dari pemerintah-presiden dan parlemen. Masalah ditambah dengan masuknya unsur militer guna pengamanan negara.
Interpretasi inilah yang membawa pada banyaknya perbedaan. Perbedaaan yang tidak memiliki ujung penyelasian. Titik penyelesaian tidak bisa dicapai karena banyaknya persepsi untuk mengartikan undang-undang baik dari presiden-parlemen-pemerintah.
Kesepakatan daan penyatuan persepsi tidak terlaksana maka pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno selaku kepala negara mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit yang memberlakukan kembali UUD 45 sebagai jawaban atas ”kegagalan” lembaga pembuat UUD. Konsepsi pada tahun ini disebut sebagai konsepsi presiden. Presiden Sukarno tampil sebagai sesosok penyelamat bagi bangsa Indonesia
Dengan berlakunya UUD 45 mak terbentuklah lembaga-lembaga negara yang ”sesuai” dengan aturan didalamnya. Mulai tahun 1960 posisi presiden Sukarno mendapatkan dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI-lah yang memuji-muji Sukarno dan menyatakan dukungannya kepada Sukarno. Dukungan yang didapatkan Sukarno menjadikan sukarno semakin gencar mengeluarkan program dan ide-ide untuk melakukan revolusi. Revolusi dalam segala aspek kehidupan masyarakat, yakni revolusi ideologi, revolusi ekonomi, revolusi militer dan revolusi semesta. Revolusi-revolusi yang dijalankaan oleh Sukarno berakhir ketika terjadi peristiwa G.30.S/PKI di akhir September 1965.
Interpretasi
Buku Sejarah Politik Indonesia tidak menguraikan sejarah sejah zaman sebelum ”Indonesia” hingga ’Indonesia” berdiri. Buku ini mulai mengurai sejarah sejak tahun 1950. Uraian pertama tentang politik parlementer. Zaman ini digambarkan sebagai zaman pemerintahan partai-partai. Terutama partai politik yang dianggap sebagai salah satu unsur infra struktur pemerintahan, legislatif, yudikatif dan militerisme.
Pada era selanjutnya tentang masa transisi antar tahun 1957-1959. Masa transisi banyak terjadi perbedaan pendapat yang mengakibatkan konsepsi akan tata negara tidak terlaksana. Perbedaan pendapat terjadi dikalangan lembaga tinggi negara yakni antara presiden-parlemen-pemerintah.
Konsepsi yang belum terbentuk berujung pada keluarnya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959. Melalui dekrit inilah era Sukarno dimulai hingga 1965. Era Sukarno pada masa 1959-1965 dengan mengembalikan segala konsepsi negar pada UUD 45. Sukarno juga mengeluarkan prograam revolusioner dengan mengadakan revolusi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Ada tiga bahasan yang ada dalam buku tersebut. Pembahsan-pembahsan itu bisa dijadikan periodisasi buku tersebut yakni.
1950-1957
1957-1959
1959-1965
Politik Parlementer
Politik Transisi
Politik Milik Sukarno
Kajian yang ada dalam buku tersebut adalah kajian tentang sejarah politik ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan kajian historis ”bagaimana” perpolitikan ”Indonesia”. Penulis mengusulkan bahwa judul dari buku ini adalah Politik Indonesia Sejak 1950-1965. Bila menbicarakan mengenai sejarah politik Indonesia maka seyogyanya secarak rasa ’”ke-Indonesia-an” itu ada. Proses politik terbentuknya Indonseia lebih penting karena terdapat usaha-usaha secara kooperatif dan non-kooperatif dalam menajdikan Indonesia.
Porsi batasan waktu memang sangat dibatasi namun explorasi akan sebuah peristiwa kurang dalam. Dalam buku tersebut porsi yang banyak di kuak adalah zamann Indonesia dalam transisi. Banyak fakta yang diungkapkan dengan mencantumkan sumber-sumber sejarah berupa Undang-Undang dan keputusan-keputusan. Dalam masa parlementer belum dikuak secar mendalam kejatuhan-kejatuhan para Perdana Menteri sebelum Ali Sastroamijoyo (1957) maupun sesudahnya. Padahal, pada masa transisi ini banyak sekali terjadi pergantian Perdana Menteri.
Setelah masa transisi terdapat masa atau era Sukarno dalam menjalankan politik di Indonesia. Banyak sekali fakta yang terungkap bahwa masa ini Sukarno lebih sebagai romantisisme era. Sukarno bagaikan mata uang pada masa ini, sukarno biasa terliaht baik dan sukarno bisa terlihat buruk. Kebaikan Sukarno digambarkan dengan konsepsi-konsepsi untuk membawaa raakyaat pada kemakmuran sdangakn keburukan Sukarno adalah ke-ego-an untuk menerapkan segala pemikirannya pada pemerintahan yang dijalankan. Dengan kata lain, Sukarno ingin agar Indonesia sesuai keinginannya.
Dalam buku itu terdapat beberapa catatn tentang penarikan kesimpulannya. Dalam kesimpulannya masih terdapaat pembahasan tentang latar belakang G.30.S/PKI. Adanya perulangan pembahasaan tentang sukarno seperti.
Sukarno juga dianggap sebagai seseorang yang dijangkiti politik luar negeri yang revolusioner dan Sukarno dimanfaatkan oleh PKI untuk menarik Indonesia ke komunisme RRC.
Dalam kesimpulan juga terdapat pembahasan sedikit tentang perkembangan ekonomi, padahal dalam pendahuluan tidak ada. Akhirnya sejrah politik Indonesia pada sat itu dibentuk memalui model parlementer dan pemikiran seorang tokoh nasional Indonesia, Sukarno.
Ciri Historiografi Pada Buku Tersebut yang Diterbitkan Pada Masa Orde Baru
  1. batasan waktu tidak terlalu panjang.
  2. batasan waktu tidak seluas inti dari judul
  3. ada membatasan pembabakan
  4. kurangnya eksplorasi terutama di bidang politik, padahal waktu antara 1965-1989 sangatlah panjang.
  5. adanya komparasi antara orde baru dengan zaman sejarah yang ditulis tersebut.
  6. eksplorasi akan peristiwa G.30.S/PKI masih ditutup-tutupi.
  7. sosok sukarno memang menjadi sosok yang baik-buruk.