Sabtu, 29 Oktober 2011

Majelis Permusyawaratan Rakyat

Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

Sejarah


Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).

Masa Orde Lama (1945-1965)

Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
  • Pembubaran Konstituante,
  • Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
  • Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
  • MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
  • Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
  • Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
  • Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
  • MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.

Masa Reformasi (1999-sekarang)

Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” , setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.
Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Tugas dan wewenang

Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar

MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.

Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum

MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).

Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.

Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden

Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Memilih Wakil Presiden

Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Keanggotaan

MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.

Hak dan kewajiban anggota

Hak anggota

  • Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
  • Memilih dan dipilih.
  • Membela diri.
  • Imunitas.
  • Protokoler.
  • Keuangan dan administratif.

Kewajiban anggota

  • Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
  • Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
  • Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
  • Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

Fraksi dan kelompok anggota

Fraksi

Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.

Kelompok anggota

Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok Anggota.

Alat kelengkapan

Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.

Pimpinan

Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.

Panitia Ad Hoc

Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.

Sidang

MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
  • sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
  • sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
  • sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
  • sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
  • sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai hasil yang mufakat.

Perdagangan internasional

Indonesia adalah negara yang strategis maka dariitu kita harus bisa menjaga kekayaan indonesia

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.

Teori Perdagangan Internasional

Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.
Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.

Model Ricardian

Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.

Model Heckscher-Ohlin

Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.

Faktor Spesifik

Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengednalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan. Jangan dipercaya,bohong tu.

Model Gravitasi

Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik di antara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.

Manfaat perdagangan internasional

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
  • Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
    Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
  • Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
    Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
  • Memperluas pasar dan menambah keuntungan
    Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
  • Transfer teknologi modern
    Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

Faktor pendorong

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :

Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional

Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran di antaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI (Multilateral Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-tahun belakangan ini.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PDIPLogo.png
Ketua Umum Megawati Soekarnoputri
(sejak 1999)
Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo
Didirikan 1999;
10 Januari 1973 (pendirian PDI, dianggap sebagai penerus)
Kantor pusat Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan
Ideologi Marhaenisme
Kursi di DPR (2009)
95 / 560
Situs web http://www.pdiperjuangan.or.id/
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah sebuah partai politik di Indonesia. Lahirnya PDI-P dapat dikaitkan dengan


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah sebuah partai politik di Indonesia. Lahirnya PDI-P dapat dikaitkan dengan peristiwa 27 Juli 1996. Hasil dari peristiwa ini adalah tampilnya Megawati Soekarnoputri di kancah perpolitikan nasional. Walaupun sebelum peristiwa ini Megawati tercatat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia dan anggota Komisi I DPR, namun setelah peristiwa inilah, namanya dikenal diseluruh Indonesia.
Setelah dibukanya kehidupan kepartaian politik oleh Presiden Habibie, untuk menyongsong Pemilu 1999, PDI-P didirikan. Dalam Pemilu ini, PDI-P memperoleh peringkat pertama untuk suara DPR dengan memperoleh 151 kursi. Walaupun demikian, PDI-P gagal membawa Megawati ke kursi kepresidenan, karena kalah voting dalam Sidang Umum MPR 1999 dari Abdurrahman Wahid, dan oleh karenanya Megawati menduduki kursi wakil presiden. Setelah Abdurrahman Wahid turun dari jabatan presiden pada tahun 2001, PDI-P berhasil menempatkan Megawati ke kursi presiden.
Dalam Pemilu Legislatif 2004, perolehan suara PDI-P turun ke peringkat kedua, dengan 109 kursi. Untuk Pemilu Presiden 2004, PDI-P kembali mencalonkan Megawati sebagai calon presiden, berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden.
Kongres I PDI-P berlangsung di Semarang, Jawa Tengah pada tahun 2000.

Kongres II PDI-P

 Pada 28 Maret 2005, Kongres II PDI-P dibuka di Sanur, Bali, di tengah aksi sekelompok kader yang meminta reformasi di dalam tubuh PDI-P dan terkumpul dalam "Gerakan Pembaruan PDI-P". Kongres ditutup pada 31 Maret, dua hari lebih cepat dari yang direncanakan, dengan terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri secara aklamasi oleh sekitar 1.000 utusan PDI Perjuangan dari seluruh Indonesia sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan periode 2005-2010 beserta sejumlah pengurus lainnya. Sadar akan tuntutan proses regenerasi kepemimpinan dalam tubuh Partai, Megawati menunjuk Pramono Anung Wibowo, seorang politisi muda, sebagai Sekretaris Jenderal. Sedangkan Guruh Sukarnoputra, adik Megawati, yang sebelumnya ikut dalam bursa calon Ketua Umum, terpilih sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Pencapaian pada Pemilu Anggota DPR 2009

PDI-P mendapat 95 kursi (16,96%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat 14.600.091 suara (14,0%). Dengan hasil ini, PDI-P menempati posisi ketiga dalam perolehan suara serta kursi di DPR.

Susunan pengurus

 

Berikut merupakan daftar susunan pengurs PDI Perjuangan untuk masa kerja 2010—2015 berdasarkan Kongres III PDI Perjuangan di Hotel Inna Grand Bali Beach, Bali, April 2010.[1][2]

Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Indonesia


Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum merupakan adalah sebuah unsur pelaksana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang menyelenggarakan fungsi penyiapan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, perumusan standar, norma, pedoman dan prosedur di bidang administrasi hukum umum. Lembaga ini dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.
Susunan organisasi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum terdiri atas:
  1. Sekretariat Direktorat Jenderal;
  2. Direktorat Perdata, dengan tugas antara lain: Pengesahan badan Hukum; Penyelesaian permohonan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian notaris; Penyelesaian Legalisasi; Pembuatan Legal Opinion; Penyelesaian permohonan Perubahan Nama; Penyelesaian permohonan Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing; Pengurusan Harta Peninggalan; Pengurusan Harta Orang yang dinyatakan pailit; Pemberian surat keterangan wasiat; serta Penyelesaian Pendaftaran Jaminan Fidusia
  3. Direktorat Pidana, dengan tugas antara lain: Penyelesaian permohonan Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
  4. Direktorat Tata Negara, dengan tugas antara lain: Penyelesaian permohonan Pewarganegaraan RI (naturalisasi); Pendaftaran Partai Politik
  5. Direktorat Hukum Internasional, dengan tugas antara lain: Pelaksanaan kegiatan bidang hukum internasional berperan dalam pembahasan dan penelaahan mengenai materi di bidang hukum internasional, berperan dalam pengembangan hukum internasional melalui sosialisasi, dan ikut berperan dalam pembahasan perundingan perjanjian-perjanjian bilateral, serta memberikan bimbingan dan pertimbangan mengenai masalah di bidang hukum internasional
  6. Direktorat Daktiloskopi, dengan tugas antara lain: Penyelesaian Perumusan dan Identifikasi Sidik Jari
Kegiatan tugas bidang pembinaan teknis operasional pelayanan hukum meliputi :
  • pembinaan dan pengendalian atas pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan di seluruh Indonesia
  • pemberian pertimbangan/tanggapan atas permasalah di bidang hukum perdata umum
  • penyiapan bahan atas pemberian pendapat hukum (legal opinion)
  • penyelesaian masalah grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi
  • penyelesaian proses pengangkatan PPNS
  • pemberian tanggapan/pertimbangan mengenai masalah di bidang hukum pidana
  • pemberian bimbingan dan pertimbangan mengenai masalah di bidang hukum tata negara

Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia

Kementerian Kelautan dan Perikanan (dahulu bernama "Departemen Eksplorasi Kelautan" (1999-2001) dan Departemen Kelautan dan Perikanan (2001-2009), disingkat DKP) adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan kelautan dan perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin oleh seorang Menteri Kelautan dan Perikanan yang sejak tanggal 19 Oktober 2011 dijabat oleh Syarip Cicip Sutardjo.

Sejarah kelembagaan kelautan Indonesia

Periode 1850-1966 adalah periode pelembagaan institusi-institusi yang menangani urusan masyarakat bagi pemapanan penjajahan Belanda atas negeri Indonesia. Begitu pula halnya dengan urusan-urusan masyarakat pantai yang menyandarkan kegiatan ekonomi pada bidang kelautan. Pengembangan kelautan dimulai pada 1911 dengan dibentuknya Bugerlijk Openbare Werken yang berubah menjadi Departemen Verkeer en Waterstaat pada 1931. Kurun waktu hingga kemerdekaan tercapai, merupakan fase pasang surut pertumbuhan organisasi kelautan dalam struktur pemerintahan kolonial maupun Republik Indonesia merdeka. Unit-unit warisan kolonial Belanda inilah yang menjadi cikal bakal pembentukan kementerian yang mengelola aspek kelautan di masa sekarang.
Lembaga yang menangani kegiatan-kegiatan perikanan semasa pemerintahan kolonial Belanda masih berada dalam lingkup Departemen van Landbouw, Nijverheid en handel yang kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken. Kegiatan-kegiatan perikanan masa itu digolongkan sebagai kegiatan pertanian. Meski demikian, terdapat suatu organisasi khusus yang mengurusi kegiatan perikanan laut di bawah Departemen van Ekonomische Zaken. Organisasi tersebut adalah Onderafdeling Zee Visserij dari Afdeling Cooperatie en Binnenlandsche Handel. Sedangkan untuk menyediakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut terdapat suatu institut penelitian pemerintah kolonial yang bernama Institut voor de Zee Visserij. Pada masa ini juga telah ditetapkan UU Ordonansi tentang batas laut Hindia Belanda melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, yang menetapkan bahwa lebar laut wilayah Hindia Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau sampai sejauh 3 mil.
Semasa pendudukan Jepang 1942-1945, Departemen van Ekonomische Zaken berubah nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Fungsi dan tugas departemen ini tidak berubah dari fungsinya di zaman kolonial. Begitu pula halnya dengan lembaga penelitian dan pengembangan, meski berubah nama menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan berpusat di Jakarta tidak mengalami perubahan fungsi. Bahkan, UU tentang batas laut pun tidak mengalami perubahan. Namun yang perlu dicatat justru adalah pada masa pendudukan Jepang ini terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah. Pada masa ini, di daerah-daerah dibentuk jawatan penerangan perikanan yang disebut Suisan Shidozo. Di samping itu, pada masa ini terjadi penyatuan perikanan darat dengan perikanan laut, walaupun tetap dimasukkan dalam kegiatan pertanian.

Masa awal kemerdekaan sampai orde lama

Setelah proklamasi kemerdekaan nasional, pada kabinet presidensial pertama, pemerintah membentuk Kementerian Kemakmuran Rakyat dengan menterinya Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pada kementerian ini dibentuk Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Semenjak kabinet pertama terbentuk pada 2 September 1945 hingga terbentuknya kabinet parlementer ketiga pada 3 Juli 1947, Jawatan Perikanan tetap berada di bawah Koordinator Pertanian, di samping Koordinator Perdagangan dan Koordinator Perindustrian dalam Kementerian Kemakmuran Rakyat. Meskipun kemudian Kementerian Kemakmuran Rakyat mengalami perubahan struktur organisasi akibat agresi militer Belanda I dan II serta perpindahan ibukota negara ke Yogyakarta, jawatan perikanan tetap menjadi subordinat pertanian. Pada masa itu, tepatnya 1 Januari 1948, Kementerian Kemakmuran Rakyat mengalami restrukturisasi dengan menghapus koordinator-koordinator. Sebagai gantinya, ditunjuk lima pegawai tinggi di bawah menteri, yakni Pegawai Tinggi Urusan Perdagangan, Urusan Pertanian dan Kehewanan, Urusan Perkebunan dan Kehutanan, serta Urusan Pendidikan. Jawatan Perikanan menjadi bagian dari Urusan Pertanian dan Kehewanan.
Pada masa pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949, Kementerian Kemakmuran Rakyat kemudian dipecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Pada masa itulah Jawatan Perikanan masuk ke dalam Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian pada 17 Maret 1951 mengalami perubahan susunan, yakni penunjukan 3 koordinator yang menangani masalah Pertanian, Perkebunan dan Kehewanan. Di bawah Koordinator Pertanian, dibentuk Jawatan Pertanian Rakyat. Jawatan Perikanan pada masa itu telah berkembang menjadi Jawatan Perikanan Laut, Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan Darat, dan Yayasan Perikanan Laut. Kesemua jawatan tersebut berada di bawah Jawatan Pertanian Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama. Pada 9 April 1957, susunan Kementrian Pertanian mengalami perubahan lagi dengan dibentuknya Direktorat Perikanan dan di bawah direktorat tersebut jawatan-jawatan perikanan dikoordinasikan.
Jatuh bangunnya kabinet semasa pemerintahan parlementer mengakibatkan Presiden Soekarno menganggap bahwa sistem parlementer tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pada 5 Juli 1957, presiden mengeluarkan dekret untuk kembali pada UUD 1945. Istilah kementerian pada masa sebelum dekrit berubah menjadi departemen dan posisi istilah direktorat kembali menjadi jawatan. Pada 1962, terjadi penggabungan Departemen Pertanian dan Departemen Agraria dan istilah direktorat digunakan kembali. Pada masa kabinet presidensial paska dekret, Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani.
Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak kembali susunan kabinet dan terbentuklah Kabinet Dwikora pada 1964. Pada Kabinet Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami dekonstruksi menjadi 5 buah departemen dan pada kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon pemerintah atas hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya departemen khusus yang menangani pemikiran dan pengurusan usaha meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui pembentukan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, Departemen Perikanan Darat/Laut tidak lagi di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria melainkan mengalami reposisi dan bernaung di bawah Kompartemen Maritim. Di bawah Kompartemen baru, departemen tersebut mengalami perubahan nama menjadi Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut. Keadaan ini tidak berlangsung lama, pada 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September dan Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera I pada 1966.

Masa Reformasi

Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu pula perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Di masa Orde Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan.[1]
Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi sumber daya tersebut terdiri dari sumber daya yang dapat diperbaharui, seperti sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumber daya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah yang mendasari Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.
Selanjutnya pengangkatan tersebut diikuti dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.
Kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mengalami perubahan.

Struktur Organisasi

Saat berupa Departemen

Dalam rangka menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000, pada November 2000 telah dilakukan penyempurnaan organisasi DKP. Pada akhir tahun 2000, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, di mana organisasi DKP yang baru menjadi:
  1. Menteri Kelautan dan Perikanan
  2. Sekretaris Jenderal
  3. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
  4. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
  5. Direktorat Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
  6. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran
  7. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
  8. Inspektorat Jenderal
  9. Badan Riset Kelautan dan Perikanan
  10. Staf Ahli

Saat berstatus Kementerian

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Preaturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006, maka struktur organisasi KKP menjadi:
  1. Menteri Kelautan dan Perikanan
  2. Sekretaris Jenderal
  3. Inspektorat Jenderal
  4. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
  5. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
  6. Direktorat Jenderal Pengawasan & Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
  7. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
  8. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  9. Badan Riset Kelautan dan Perikanan
  10. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan
  11. Staf Ahli

Alasan pembentukan kementerian

Tebentuknya Kementrian Kelautan dan Perikanan pada dasarnya merupakan sebuah tantangan, sekaligus peluang bagi pengembangan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Artinya, bagaimana KKP ini menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sektor andalan yang mampu mengantarkan Bangsa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Setidaknya ada beberapa alasan pokok yang mendasarinya:
  • Pertama, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km tidak hanya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tetapi juga menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.
  • Kedua, selama beberapa dasawarsa, orientasi pembangunan negara ini lebih mangarah ke darat, mengakibatkan sumberdaya daratan terkuras. Oleh karena itu wajar jika sumberdaya laut dan perikanan tumbuh ke depan.
  • Ketiga, dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk serta meningkatnya kesadaran manusia terhadap arti penting produk perikanan dan kelautan bagi kesehatan dan kecerdasan manusia, sangat diyakini masih dapat meningkatkan produk perikanan dan kelautan di masa datang. Keempat, kawasan pesisir dan lautan yang dinamis tidak hanya memiliki potensi sumberdaya, tetapi juga memiliki potensi bagi pengembangan berbagai aktivitas pembangunan yang bersifat ekstrasi seperti industri, pemukiman, konservasi dan lain sebagainya.

Lembaga negara

Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan atau "Civilizated Organization" Dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara , dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara itu sendiri . Lembaga negara terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugas nya masing - masing antara lain

Tugas Lembaga Negara

 

Tugas umum lembaga negara antara lain :
  1. Menjaga kestabilan atau stabilitas keamanan , politik , hukum , ham , dan budaya
  2. Menciptakan suatu lingkungan yang kondusif , aman , dan harmonis
  3. Menjadi badan penghubung antara negara dan rakyatnya
  4. Menjadi sumber insipirator dan aspirator rakyat
  5. Memberantas tindak pidana korupsi , kolusi , maupun nepotisme
  6. Membantu menjalankan roda pemerintahan negara

Dalam Negeri

  1. DPR atau dewan perwakilan rakyat bertugas membentuk undang-undang untuk menampung segala usulan dari rakyat
  2. MPR Majelis permusyawaratan rakyat yang bertugas mengatur susunan amandemen / UUD 1945
  3. TNI Tentara Nasional Indonesia bertugas untuk mengatur keamanan dan stabilitas negara
  4. PN Pengadilan negeri bertugas untuk menghukum atau mengadili masalah masalah yang berkaitan dengan hukum perdata maupun hukum pidana
  5. KPK Komisi pemberantasan korupsi bertugas untuk memberantas para pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi
  6. BPK Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa uang Negara

Lembaga Negara-negara

 

Adapun artinya adalah lembaga yang anggotanya terdiri dari beberapa negara dan mempunyai fungsi menjaga kestabilan anggota-anggotanya . Dan Menciptakan suatu kerja sama regional antar negara anggota baik bilateral dan multiteral sehingga tercipta hubungan simbiosis mutualisme antar negara anggota contoh lembaga negara-negara adalah
  1. PBB Perserikatan bangsa-bangsa terdiri dari banyak negara di seluruh dunia dan berfungsi menjaga kestabilan politik , ekonomi , pangan , dan keamanan di seluruh dunia
  2. NATO Terdiri dari negara-negara superpower gabungan antara eropa dan amerika seperti amerika serikat , inggris dan rusia bertugas menjaga keamanan dan meningkatkan hubungan kerja sama regional antar amerika-eropa.dalam kenyataannya lebih bertugas menjaga keamanan di seluruh dunia atau bisa disebut juga "polisi dunia"
  3. ASEAN Association of South East Asia Nation adalah badan / lembaga negara-negara yang beranggotakan negara - negara di asia tenggara yang bertugas menjaga dan meningkatkan hubungan dan keharmonisan baik di bidang politik , sosial , budaya , ekonomi

Persoalan yang terjadi tentang lembaga negara

 

  • Seringkali lembaga negara disalahartikan sebagai alat politik dan militer salah satu contohnya nato , nato dijadikan dalih uni eropa dan amerika sebagai alat militer untuk menyerang negara-negara timur tengah guna memonopoli minyaknya.Namun begitu , Nato mempunyai peran yang besar karena juga menjaga stabilitas ekonomi dunia
  • Ada juga jika terjadi suatu peperangan atau pertikaian dan konflik maka negara anggota suatu lembaga negara negara akan dibela sedangkan yang bukan akan dimusuhi atau dikenai sanksi
  • Seringkali PBB bukan menjadi perserikatan bangsa-bangsa akan tetapi amerika justru yang lebih mendominasi karena amerika merupakan salah satu pendiri pbb dan penyokong dana pbb oleh karena itu amerika bebas untuk melakukan intervensi kepada negara-negara yang sedang terjadi pertikaian dan bebas untuk menjatuhkan sanksi atau menyerang negara-negara yang dianggap membangkang / keluar dari jalur pbb
  •  

Sejarah lembaga kepresidenan Indonesia

Lambang Presiden Republik Indonesia
Bendera Presiden Republik Indonesia
Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Dikatakan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut.
Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian besar diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesulitan di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 19491950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, antara 19992002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang masih terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009.

Daftar isi

Menurut periode

Periode 1945–1950

Periode 18 Agustus 194515 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 194527 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 194915 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara bagian dari negara federasi Republik Indonesia Serikat.
Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR.
Menurut UUD 1945:
  1. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
  2. Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden
  3. Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
  4. Presiden menetapkan peraturan pemerintah
  5. Presiden dibantu oleh menteri
  6. Presiden dapat meminta pertimbangan kepada DPA
  7. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia
  8. Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain atas persetujuan DPR
  9. Presiden menyatakan keadaan bahaya
  10. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik
  11. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
  12. Presiden memberi gelar dan tanda kehormatan
  13. Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR
  14. Presiden berhak memveto RUU dari DPR
  15. Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam keadaan mendesak.
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950
Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945.
Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA meminta kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden berkurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat, 29 Juni 19462 Oktober 1946, dan 27 Juni 19473 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 194827 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden).
Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak bubar. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat.
Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat.

Periode 1949–1950

Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950
Pada periode 27 Desember 194915 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden.
Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih.
Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus):
  1. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara
  2. Presiden merupakan bagian dari pemerintah [pasal 68 (1) dan (2), 70, 72 (1)];
  3. Presiden tidak dapat diganggu-gugat dan segala pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 74 (4), 118 (2), dan 119];
  4. Presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar federasi, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara federal maupun negara bagian, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 79 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 79 (4)];
  5. Presiden maupun mantan presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 148 (1)]
  6. Hal keuangan presiden diatur dalam UU federal [pasal 78];
  7. Presiden dengan persetujuan Dewan Pemilih membentuk Kabinet Negara [pasal 74 (1) – (4)];
  8. Presiden menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 77];
  9. Presiden menerima pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 76 (2)];
  10. Presiden menyaksikan pelantikan anggota Senat [pasal 83];
  11. Presiden mengangkat ketua Senat [pasal 85 (1)] dan menyaksikan pelantikannya [pasal 86];
  12. Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 104];
  13. Presiden mengesahkan pemilihan ketua dan wakil-wakil ketua DPR [pasal 103 (1)];
  14. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 128 (1) dan (2), 133-135; 136 (1) dan (2), 137, dan 138 (3)];
  15. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 187 (1) dan 189 (3)].
  16. Presiden dengan pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung untuk pertama kalinya [pasal 114 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 114 (4)];
  17. Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung memberi grasi dan amnesti [pasal 160];
  18. Presiden dengan pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan untuk pertama kalinya [pasal 116 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 116 (4)];
  19. Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU federal [pasal 175];
  20. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 178];
  21. Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 183 (1) dan (3)];
  22. Presiden memberikan tanda kehormatan menurut UU federal [pasal 126].
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, antara lain:
  1. Menjalankan pemerintahan federal [pasal 117];
  2. Mendengarkan pertimbangan dari Senat [pasal 123 (1) dan (4);
  3. Memberi keterangan pada Senat [pasal 124];
  4. Mengesahkan atau memveto UU yang telah disetujui oleh DPR dan Senat [pasal 138 (2)];
  5. Mengeluarkan peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 139];
  6. Mengeluarkan peraturan pemerintah [pasal 141];
  7. Memegang urusan hubungan luar negeri [pasal 174, 176, 177];
  8. Menyatakan perang dengan persetujuan DPR dan Senat [pasal 183];
  9. Menyatakan keadaan bahaya [pasal 184 (1)];
  10. Mengusulkan rancangan konstitusi federal kepada konstituante [pasal 187 (1) dan (2)], dan mengumumkan konstitusi tersebut [pasal 189 (2) dan (3)] serta mengumumkan perubahan konstitusi [pasal 191 (1) dan (2)].
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.

Periode 1950–1959

Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956
Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan konstitusi federal. Dari segi materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 15 Agustus 19505 Juli 1959.
Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan hingga ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum menjalankan tugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47].
Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
  1. Presiden dan wakil presiden adalah alat perlengkapan negara [pasal 44];
  2. Presiden dan wakil presiden berkedudukan di tempat kedudukan pemerintah [pasal 46 (1)];
  3. Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara [pasal 45 (1)];
  4. Wakil presiden membantu presiden dalam melaksanakan kewajibannya [pasal 45 (2)];
  5. Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden tidak mampu melaksanakan kewajibannya [pasal 48];
  6. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat dan seluruh pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 83 dan 85];
  7. Presiden dan wakil presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar negara, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara maupun daerah otonom, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 55 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 55 (4)];
  8. Presiden dan wakil presiden maupun mantan presiden dan mantan wakil presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 106 (1)];
  9. Hal keuangan presiden dan wakil presiden diatur dengan UU [pasal 54];
  10. Presiden membentuk kabinet [pasal 50 dan 51];
  11. Presiden menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 53];
  12. Presiden dan wakil presiden menerima pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 52 (2)];
  13. Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 63];
  14. Presiden mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPR [pasal 62 (1)];
  15. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 90 (1), 92, 93, dan 94 (3)];
  16. Presiden berhak membubarkan DPR dan memerintahkan pembentukan DPR baru [pasal 84];
  17. Presiden menyaksikan pelantikan anggota Konstituante, dan mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil ketua Konstituante [pasal 136];
  18. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 140 (2)];
  19. Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung atas permintaan sendiri [pasal 79 (4)];
  20. Presiden memberi grasi, amnesti, dan abolisi dengan pertimbangan Mahkamah Agung [pasal 107];
  21. Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan atas permintaan sendiri [pasal 81 (4)];
  22. Presiden memberi tanda kehormatan menurut UU [pasal 87];
  23. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 123];
  24. Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU [pasal 120];
  25. Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 127];
  26. Presiden menyatakan perang dengan persetujuan DPR [pasal 128];
  27. Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 129 (1)].
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, antara lain:
  1. Menjalankan pemerintahan [pasal 82];
  2. Mengesahkan atau memveto UU yang telah disetujui oleh DPR [pasal 94 (2) dan 95 (1)];
  3. Mengeluarkan peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 96 (1)];
  4. Mengeluarkan peraturan pemerintah [pasal 98 (1)];
  5. Memegang urusan umum keuangan [pasal 111 (1)].
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat.
Dalam perjalanannya jabatan wakil presiden mengalami kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Aturan pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis berakhir seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali.

[sunting] Periode 1959–1999

Jend Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998
Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 195919 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dipersilakan melihat kembali masa republik I.
Ada beberapa hal yang menarik dari segi peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, bagian penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan hadirnya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketetapan MPR/MPRS. Melalui produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui:
  1. Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
  3. Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
  4. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
  5. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.
  6. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
  7. Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presidan dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan:
  1. Ketetapan MPR No. X/MPR/1973 tentang Pelimpahan Tugas dan Kewenangan Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk Melaksanakan Tugas Pembangunan.
  2. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Pengsuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
  3. Ketetapan MPR No. VII/MPR/1983 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Pensuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
  4. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
  5. Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999
Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya.
Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan di tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden di tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari jabatannya pada tahun 1998. Sebenarnya masih banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dikemukakan.
Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akhirnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun berakhir sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power.

[sunting] Periode 1999–2002

K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001
Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan akibat proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 199910 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai akibat dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8].
Pada tahun 1999 sebagai akibat perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
  1. Jabatan lembaga kepresidenan dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan [pasal 7];
  2. Presiden dan wakil presiden dapat bersumpah di depan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)];
  3. Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dengan membentuk UU, melainkan hanya berwenang mengajukan RUU kepada parlemen dan ikut membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (1) – (3)];
  4. Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen [pasal 20 (4)];
  5. Presiden tidak dapat lagi memveto RUU dari parlemen, sebab klausul tersebut dihilangkan [pasal 21];
  6. Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
  7. Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
  8. Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].
Pada tahun 2000 sebagai akibat perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
  1. Presiden hanya dapat menunda pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama tiga puluh hari [pasal 20 (5)].
Pada tahun 2001 sebagai akibat perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
  1. Calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menjadi presiden dan wakil presiden [pasal 6];
  2. Presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan melalui pemilu dengan ketentuan yang lebih rinci [pasal 6A (1) – (3) dan (5)];
  3. Presiden dan wakil presiden terpilih dilantik oleh MPR [pasal 3 (3/2)];
  4. Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3 (4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
  5. Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
  6. Presiden mengusulkan dua calon wakil presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
  7. Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat tertentu harus dengan persetujuan parlemen [pasal 11 (2)];
  8. Presiden harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian dalam [Kementerian Indonesia|kabinet]] [pasal 17 (4)];
  9. Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
  10. Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)];
  11. Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
  12. Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
  13. Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)].
Pada tahun 2002 sebagai akibat perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
  1. Proses pemilihan presiden dan wakil presiden dengan persyaratan tertentu [pasal 6A (4)];
  2. Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
  3. Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].
Beberapa hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berakibat dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR.
Sebenarnya periode transisi ini tidak berakhir di tahun 2002 melainkan di tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada bagian republik VI.

[sunting] Sejak 2002

Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004
Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi.
Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari segi ketatanegaraan. Dan dapat dikatakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”.
Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan tata cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa jabatan selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode jabatan [pasal 7]. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di hadapan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)].
Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi:
  1. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (1) dan pasal 5 (2)];
  2. Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (2)];
  3. Wakil Presiden menggantikan presiden jika presiden tidak dapat menjalankan apa yang menjadi kewajibannya [pasal 8 (1)];
  4. Presiden mengusulkan dua calon wakil Presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
  5. Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil Presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
  6. Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3 (4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
  7. Presiden menetapkan peraturan pemerintah [pasal 5 (2)];
  8. Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab kepadanya [pasal 17 (1) dan (2)] dan harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian dalam kabinet [pasal 17 (4)];
  9. Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].
  10. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas militer [pasal 10];
  11. Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 12];
  12. Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain dan atas persetujuan DPR [pasal 11 (1)];
  13. Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat tertentu harus dengan persetujuan DPR [pasal 11 (2)];
  14. Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
  15. Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
  16. Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].
  17. Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
  18. Presiden dapat mengajukan RUU kepada parlemen dan berwenang untuk ikut membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (2)];
  19. Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
  20. Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen [pasal 20 (4)] dan hanya dapat menunda pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama tiga puluh hari[pasal 20 (5)];
  21. Presiden berhak mengeluarkan peraturan darurat dalam keadaan mendesak [pasal 22 (1)].
  22. Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
  23. Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
  24. Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)];
  25. Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)].
Periode transisi masih mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 20022004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu aturan peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melalui konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berbeda dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, diadakan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat.

Menurut pejabat

Soekarno

Soekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, adalah tokoh presiden pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Ia didampingi oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut aturan yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat besar. Seiring berjalannya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November di tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 19462 Oktober 1946, dan 27 Juni 19473 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi keadaan darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dilihat bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cidera.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak bubar secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin berhasil membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih memilih berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan keadaan pemerintahan ganda. Sampai akhirnya pada 13 Juli 1949, setelah melalui proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada saat yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap jabatan bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan jabatan apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Keadaan ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen diangkat menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Akhirnya pada 27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo.
Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara bagian yang tersisa, pemerintah negara bagian Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara bagian Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara bagian Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) memilih Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dibentuk dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Jabatan presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS.
ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978
Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Keadaan yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung selesai menyusun konstitusi tetap.
Sukarno tetap menjabat presiden berdasar aturan peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan[14] sampai ditetapkan DPR yang baru menurut konstitusi. Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa jabatan keempat bagi Sukarno. Sementara itu, aturan peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak didampingi oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membuat produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketentuan dalam konstitusi. Peranan Sukarno semakin besar dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang berisi DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dalam bidang legislatif. Melalui UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan.
MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Besar Revolusi dan akhirnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa jabatan seumur hidup pada 1963 tanpa didampingi wakil presiden. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai akibat badai politik tahun 1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai ditanggalkan oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Besar Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akhirnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19].

[sunting] Soeharto

Jend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988
Jenderal TNI Suharto atau yang akrab disapa Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto diangkat oleh MPR Sementara dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Ia adalah presiden kedua yang ditetapkan oleh MPR Sementara. Dalam masa jabatannya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak didampingi oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang diangkat oleh MPR hasil pemilu.
Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini diangkat oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari calon tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa jabatannya yang kedua Pak Harto didampingi oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berjalan dengan urutan yang mudah diikuti relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi jabatan.
Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali diangkat oleh MPR dari calon tunggal[22]. Dalam masa jabatan yang ketiga kalinya, Pak Harto didampingi oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto diangkat sehari lebih cepat dari jatah masa jabatannya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali diangkat oleh MPR untuk menduduki kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka ia diangkat tiga belas hari lebih cepat dari masa jabatannya yang seharusnya berakhir pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto didampingi oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25].
Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal kelahiran desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun menduduki kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa jabatan kelimanya bapak pembangunan ini didampingi wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa jabatannya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto diangkat untuk menduduki jabatan presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Kini ia didampingi oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29].
Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993
Maret 1998, ditengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya ia menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa jabatan yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Besar TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, diangkat dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya ia didampingi oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya ia bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak ia lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat meminta mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya akibat gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”.

Baharuddin Jusuf Habibie

Baharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah jabatan kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui melalui kedudukan Habibi di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan ia tidak didampingi oleh wakil presiden.
Catatan yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang dipilih melalui pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999.
Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998

] Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Ia diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ia mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR memilih rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang beralih dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.

Megawati Soekarnoputri

Megawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Ia adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab ia hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR diangkat sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah melalui dua putaran pemilihan. Ia mengakhiri masa jabatan pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya.

[sunting] Susilo Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014
Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Ia bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk kedua kalinya di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini ia didampingi oleh Boediono sebagai wakil presiden.

Pejabat sementara

Syafruddin Prawiranegara

Syafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949
Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia ditunjuk dengan radiogram yang berisi mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat kedudukannya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak berkedudukan di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat ia pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, ia membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Ia berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Setelah melalui berbagai proses berliku akhirnya Syafruddin bersedia mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Kedudukan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, baik secara de facto maupun de jure, masih diperdebatkan apakah sah atau tidak.

[sunting] Assaat

Assaat, Pemangku Jabatan Presiden Indonesia 1949–1950
Assaat adalah Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. Jabatannya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan jabatan Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Ia menjabat sebagai pemangku jabatan presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Jabatan Presiden". Jabatan tersebut diembannya hingga 15 Agustus 1950 saat ia menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950.

Sartono

Sartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang diketahui mengenai tokoh ini. Satu-satunya petunjuk yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 195817 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai kedudukannya, tokoh ini akan dimasukkan[33].

Soeharto

Soeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Ia menjadi pejabat presiden sebagai ketentuan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena keadaan politik saat itu, ia mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditetapkan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu.

Polemik periode dan pejabat

PresdnRI per 062009.png
Periodisasi jabatan lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu diperhatikan beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.
  1. Siapakah yang menduduki jabatan lembaga kepresidenan. Apakah cukup presiden dan wakil presiden saja. Ataukah presiden dan wakil presiden serta pejabat presiden (atau sebutan lainnya).
  2. Apakah dapat diakui suatu pemerintahan ganda, dalam artian pada saat yang sama terdapat dua lembaga kepresidenan.
  3. Apakah penentuan naik dan turunnya seorang tokoh dalam lembaga kepresidenan hanya berdasarkan aturan dalam konstitusi. Atau berdasar konstitusi dan surat pengangkatan/pelantikan (atau sebutan lain). Ataukah lagi hanya berdasarkan pada ketokohan semata, dalam artian satu tokoh dihitung satu masa jabatan tanpa memedulikan berapa kali ia menjabat.
  4. Perlukah suatu daftar resmi dari negara untuk tokoh yang menduduki lembaga kepresidenan beserta periodisasinya agar dapat diketahui secara pasti.
Sebagai ilustrasi, dapat dilihat pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 ia membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina. Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dilihat disini bahwa ia menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berbeda. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Ia juga mengakui Jose P. Laurel yang dijadikan Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak mempunyai status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dilihat bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas.
Periodisasi masa jabatan maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku jabatan untuk yang pertama kalinya.
Soekarno memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan presiden, antara lain:
  1. Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik akhir keluarnya Supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 11 Maret 1966
  2. Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 22 Februari 1967
  3. Jika RIS dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15 Agustus 1950 hingga 22 Februari 1967
  4. Jika RIS dihitung terpisah dan masa PDRI dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 18 Desember 1948, 13 Juli 1949 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15 Agustus 1950 hingga 22 Februari 1967
  5. Jika RIS dihitung terpisah, masa PDRI dihitung ganda, dan naik turun jabatan berdasarkan pada konstitusi dan ketetapan MPRS dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, 15 Agustus 1950 hingga 18 Mei 1963, dan 18 Mei 1963 hingga 22 Februari 1967
Mohammad Hatta memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan wakil presiden, yaitu:
  1. Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan mengabaikan jeda RIS maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 1 Desember 1956
  2. Jika jeda RIS dihitung dan naik-turun jabatan berdasarkan pada konstitusi maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949 dan xx/xx/1950 hingga 1 Desember 1956.[
Syafruddin Prawiranegara memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
  1. Jika jabatan “Ketua Pemerintahan Darurat” diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal telegram yang dikirim lembaga kepresidenan dari Yogyakarta, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
  2. Jika jabatan "Ketua Pemerintahan Darurat" diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal pembentukan PDRI di Sumatera Barat, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
  3. Jika jabatan “Ketua Pemerintahan Darurat” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan maka masa jabatannya: tidak diakui/tidak pernah ada.
Assaat memiliki 2 kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
  1. Jika jabatan “Pemangku Jabatan Presiden diakui” diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan serta kedudukan RI yang beribukota di Yogyakarta diakui berdiri sendiri (walau hanya negara bagian) selama periode RIS (memiliki ketatanegaraan yang berbeda dengan RIS), maka masa jabatannya adalah sejak 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950
  2. Jika jabatan “Pemangku Jabatan Presiden” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan serta kedudukan negara bagian RI yang beribukota di Yogyakarta tidak diakui berdiri sendiri selama periode RIS (telah lebur menjadi RI), maka masa jabatannya tidak diakui.
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009
Soeharto memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, antara lain:
  1. Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik awal keluarnya supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 11 Maret 1966 hingga 21 Mei 1998
  2. Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik awal pengangkatan resmi sebagai pejabat presiden oleh MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Februari 1967 hingga 21 Mei 1998
  3. Jika naik turun jabatan berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Februari 1967 hingga 27 Maret 1968, 27 Maret 1968 hingga 24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga 1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11 Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan 10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998
  4. Jika naik turun jabatan berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden tidak dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 27 Maret 1968 hingga 24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga 1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11 Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan 10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978.
Adam Malik memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983.
Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 hingga 1988.
Sudharmono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 hingga 1993.
Try Sutrisno memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 hingga 1998.
Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
  1. Sebagai wakil presiden sejak 11 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998.
  2. Sebagai presiden sejak 21 Mei 1998 hingga 19 Oktober 1999.
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
  1. Sebagai wakil presiden sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
  2. Sebagai presiden sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Hamzah Haz memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 hingga saat ini.
Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009.
Boediono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 hingga saat ini.
Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa jabatan lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa jabatan tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berbeda.
Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.

Pejabat ke Nama pejabat Masa jabatan Jabatan ke Periode ke
1 Soekarno 18/08/1945-22/02/1967 1 1
2 Soeharto 22/02/1967-21/05/1998 1 2
3 Habibie 21/05/1998-19/10/1999 1 3
4 Abdurrahman Wahid 19/10/1999-23/07/2001 1 4
5 Megawati Soekarnoputri 23/07/2001-20/10/2004 1 5
6 SBY Mulai 20/10/2004 1 6

Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014
Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Pejabat ke Nama pejabat Masa jabatan Jabatan ke Periode ke
1 Soekarno 18/08/1945-27/12/1949 1 1
2 Syafruddin Prawiranegara (PDRI) 22/12/1948-13/07/1949 1 2
1 Soekarno (RIS) 27/12/1949-15/08/1950 2 3
3 Assaat (RI) 27/12/1949-15/08/1950 1 4
1 Soekarno 15/08/1950-18/05/1963 3 5
1 Soekarno 18/05/1963-22/02/1967 4 6
4 Soeharto 22/02/1967-27/03/1968 1 7
4 Soeharto 27/03/1968-24/03/1973 2 8
4 Soeharto 24/03/1973-23/03/1978 3 9
4 Soeharto 23/03/1978-11/03/1983 4 10
4 Soeharto 11/03/1983-11/03/1988 5 11
4 Soeharto 11/03/1988-11/03/1993 6 12
4 Soeharto 11/03/1993-10/03/1998 7 13
4 Soeharto 10/03/1998-21/05/1998 8 14
5 Habibie 21/05/1998-19/10/1999 1 15
6 Abdurrahman Wahid 19/10/1999-23/07/2001 1 16
7 Megawati Soekarnoputri 23/07/2001-20/10/2004 1 17
8 SBY 20/10/2004-20/10/2009 1 18
8 SBY Sejak 20/10/2009 2 19
Kedua contoh di atas memperlihatkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi.

[sunting] Catatan kaki

  1. ^ dalam artian bukan merupakan suatu kolektivitas
  2. ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata Presiden
  3. ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata pemerintah bukan kata presiden, namun lazimnya tindakan pemerintah tersebut dilakukan oleh kepala negara
  4. ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata Presiden
  5. ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata pemerintah bukan kata presiden, namun lazimnya tindakan pemerintah tersebut dilakukan oleh kepala negara
  6. ^ Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila
  7. ^ Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila
  8. ^ Sebagai acuan awalnya adalah kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan republik IV. Dan sebagai acuan akhirnya adalah kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan republik VI
  9. ^ Pengambil alihan kekuasaan pemerintahan negara dilakukan dengan Maklumat Presiden Tahun 1946 Nomor 1 dan Maklumat Presiden Tahun 1947 Nomor 6]]
  10. ^ Pembentukan Kabinet Presidensil yang dikenal dengan nama Kabinet Hatta I pada 29 Januari 1948 dilakukan dengan Maklumat Presiden 1948 No. 3 jo Maklumat Presiden 1948 No. 2. Selain itu pada 4 Agustus 1949 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil yang dikenal dengan Kabinet Hatta II dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1949
  11. ^ Sukarno dilantik menjadi Presiden RIS oleh Ketua Mahkamah Agung pada 17 Desember 1949 di Bangsal Sitihinggil Kraton Yogyakarta. Ia dipilih, dari calon tunggal, oleh Dewan Pemilihan Presiden RIS yang bersidang pada 15-16 Desember 1949
  12. ^ Hatta dilantik menjadi Perdana Menteri RIS pada 20 Desember 1949
  13. ^ SOB = Staat van Oorlog en Beleg (negara dalam keadaan perang dan darurat). Pada 14 Maret 1957, satu setengah jam setelah Kabinet Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandat kepada presiden, Sukarno mengeluarkan dekrit Negara Dalam Keadaan Darurat Perang. Kemudian pada 17 Desember 1957, ia meningkatkan status bahaya menjadi Negara Dalam Keadaan Perang. Status SOB baru dicabut pada 1 Mei 1963
  14. ^ mulai 22 Juli 1959
  15. ^ DPR Peralihan dibubarkan Sukarno dengan Penetapan Presiden (Penpres) No 3 tahun 1960
  16. ^ Susunan DPR Gotong Royong (DPR-GR) ditetapkan dengan Penpres No 4 tahun 1960
  17. ^ Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup
  18. ^ Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan
  19. ^ Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 ditetapkan/dikeluarkan oleh MPRS pada 12 Maret 1967 namun diberlakukan surut hingga 22 Februari 1967 untuk menghindari vacuum of power dalam negara
  20. ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1973 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
  21. ^ Sultan Yogyakarta diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1973 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
  22. ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. X/MPR/1978 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
  23. ^ Adam Malik diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1978 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
  24. ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1983 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
  25. ^ Umar Wirahadikusumah diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1983 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
  26. ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. V/MPR/1988 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
  27. ^ Sudarmono diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1988 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
  28. ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1993 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
  29. ^ Pak Try diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. V/MPR/1993 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
  30. ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1998 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
  31. ^ Pak Habibi diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1998 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
  32. ^ Pidato pertanggung jawaban Habibi ditolak oleh MPR dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie
  33. ^ Jika UU No 7 tahun 1949 masih berlaku maka kemungkinan besar Sartono adalah ketua DPR kala itu
  34. ^ lihat penjelasan umum UUD 1945 dan risalah sidang BPUPKI/PPKI
  35. ^ Ada kesulitan mengenai tanggal pengangkatan Hatta karena belum ada data pasti. Menurut konstitusi wakil presiden diangkat dari calon yang diusulkan oleh DPR Sementara dan DPR Sementara baru dilantik pada 16 Agustus 1950 maka paling cepat Hatta diangkat dalam jabatan wakil presiden pada hari yang sama

Referensi