Senin, 30 Mei 2011

Kongres Sepak Bola Nasional ,29 mei 2011

 29 mei 2011

Kongres Sepak Bola Nasional

Filed under: Blogroll —triheriyanto36@yahoo.com
Ngapain pake repot-repot buang waktu, buang-buang uang, ngadain kongres sepak bola segala. Dihadirin Presiden lagi. Katanya mau nyari solusi gimana agar persepakbolaan Indonesia kembali berprestasi (di tingkat dunia) ?.
Yah, kayak begituan mah nggak usah repot-repot dikongresin segala. Pake logika sederhana aja udah ketemu akar permasalahannya, dan gimana caranya agar berprestasi.
Permasalahan utama, pasti alasan klasik, “kekurangan dana.” Akibatnya, nyari pelatih profesional gak dapet-dapet, nyari pemain yang hebat susah (apalagi dari Indonesia yang katanya gak bakalan bisa hidup hanya dari main bola), sarana dan prasarana latihan dan bertanding kurang memadai, honor kurang, jaminan hidup tidak ada, dan seterusnya. Hal ini terus akan berkait dengan kurangnya kompetisi (apalagi dengan pemain asing di luar negeri).
Permasalahan kedua, bisa jadi “kekurangan gizi.” Nyari 11 orang pemain inti plus dengan para cadangannya yang memiliki gizi cukup sulit banget. Anak-anak Indonesia umumnya hanya memenuhi gizi untuk menjadi sehat saja (inipun masih sangat terbatas), belum berpikir atau dipersiapkan untuk memenuhi gizi menjadi sehat dan hebat. Lihat saja di lapangan, mana pemain yang sanggup berlari tanpa henti dalam dua kali empat-puluh-lima menit masa pertandingannya (bolehlah istirahat sebentar-sebentar). Kekurangan gizi itu akan terkait dengan kekurangan intelektual intelegensianya (termasuk intelegensia pelatihnya yang memberi instruksi).
Permasalahan ketiga, bisa jadi “kesalahan urus.” Banyak pejabat pengelola sepak-bola yang tidak mengerti dunia profesional sepak-bola, banyak yang tidak bisa mengelola dana, dan sebagainya. Akibatnya, pemain sepak-bola harus pandai pula dalam olah raga bela diri, menyerang wasit, dan memilih pemain yang diturunkan bukan karena pertimbangan strategi, melainkan pertimbangan sosial (emosional) saja.
Yah, itulah tiga hal pokok mengapa persepakbolaan kita mandeg. Intinya, memang kita belum mengarah ke profesioanitas, jadi masih kelas kampung saja. Dari pada susah payah membentuk kesebelasan yang memerlukan banyak orang, mending kalau ada yang hebat, cukup satu saja, kirim (ekspor) atau tawarkan saja pemain itu ke klub-klub di luar negeri, kalau laku, lumayan.

26 March, 2010

Goro-goro Bp. P.

Filed under: Blogroll — Bambang Wahyudi @ 10:30 am
Kalau situasi negara yang sedang kocar-kacir, morat-marit, dan semacamnya ini ditanyakan ke Bapak P., pasti akan dijawabnya dengan “memang harus demikian, inilah masa di mana dikatakan sebagai goro-goro.” Semua kebobrokan akan mulai terkuak, segala kebusukan akan mulai terendus, segala kecurangan akan mendapat perlawanan. Inilah goro-goro.
Saya sendiri tak tahu persis apa sih goro-goro ?. Saya sebagai keturunan suku Jawa memang sering mendengar kata itu ketika di tontonan wayang kulit, mulai keluar empat sekawan (Punakawan), Gareng, Bagong, Semar, Petruk. Isinya kebanyakan banyolan yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Apa maksudnya sekarang adalah jaman di mana banyak pelawak bermunculan sebagai jeda (selingan) adanya tontonan ‘perang’ di luar sana ?.
Perang antar-bintang ala Susno Duaji dan rekan seprofesinya, perang penguasa legislatif dengan yudikatif (kasus bank Century), perang antar-fakultas di universitas sana, perang antar-pendukung sepakbola, perang antar-suku di pulau sana, perang antara anggota PKL dengan Satpol PP, perang antara pengunjuk rasa dan polisi, perang antara pelajar dan warga setempat, dan banyak lagi.
“Semua wajar-wajar saja dan memang harus terjadi”
“Sampai kapan ?”
“Sampai ada pemimpin yang hebat”
“Hebat seperti apa ?”
“Yang omongannya bisa dipercaya, yang tindakannya terukur, yang mengayomi rakyatnya, yang… yang… yang ….”
“Apa ada ?”
“Pasti ada !”
“Kapan ?”
“Nanti, kalau sudah waktunya !”
“Haa??!!”
“Yah, nanti kalau sudah waktunya, tidak bisa dipaksakan..!”
“Ya, kapan ?”
“Nanti…, kalau sudah waktunya… tunggu saja..”
“Bisa makin kacau dong kalau masih lama…”
“Silakan saja, bubrah (hancur amburadul) juga tak apa-apa kalau memang harus begitu”
“Lah…, apa saya bisa selamat ?”
“Bisa…, pepatahnya, saiki jaman edhan, yen ra ngedhan ra kedhuman, ning luweh becik sing jujur lan waspodho
“Artinya ?”
“Sekarang ini jaman gila, kalau tidak ikut menggila, (kamu) tidak akan kebagian, tapi lebih baik yang jujur dan waspada”
“Artinya ?”
“Tidak usah ikut-ikutan menjadi orang kaya tetapi dari hasil menggila (korupsi, mark-up, dan sebagainya), lebih baik mencari uang secara jujur dan waspada (hati-hati, banyak jebakan). Hidupmu akan lebih tenang dan tenteram. Buat apa seperti Gayus, bisa bangun atau beli rumah miliaran tapi tidak bisa ninggali, terus dikejar-kejar dosanya sendiri…”
“Sebenarnya, apa sih yang sedang terjadi di negara ini Pak P ?”
“Ibarat anak kecil yang sedang mencari identitas dirinya, penuh terpaan di sana-sini hingga nanti tiba saatnya di mana ia memiliki prinsip yang dengan prinsip itu, ia tidak akan terombang-ambing lagi oleh berbagai cobaan.”
“Ibarat lain ?”
“Ibarat bumi ini masih mencari bentuk akhirnya yang pas. Selama belum pas, ia akan bergeliat, maka terjadilah gempa”
“Apakah ada hubungan antara bumi dan manusia ?”
“Wah !, gimana kamu ini…, ya erat sekali !, dari mana kamu dapat makanan ?”
“Ya, bukan seperti itu maksudnya…”
“Makanya, bumi itu disebut dengan ibu pertiwi, bumi itu ibunya manusia. Kalau manusia itu nakal, maka ibunya bisa menghukumnya, atau kalau kesal, bisa juga ibunya akan menangis…”
“Banjir ?”
“Bisa jadi…”
“Apa benar pejabat di negara ini banyak korupsi, Pak P ?”
“Ah kamu ini, lha lihat saja rumah-rumah mewah itu, milik siapa ?, apa bisa dengan gajinya ia memiliki rumah itu ?, lihat saja mobil-mobil mewah berkeliaran di jalan, berapa gaji si pemilik mobil itu ?, lihat saja yang tinggal di apartemen-apartemen itu ?, uang dari mana ia bisa beli ?”
“Selain gaji, kan bisa dari hadiah ?”
“Hadiah katamu ?, siapa yang mau memberi hadiah sebesar itu jika ia tidak memiliki jabatan ?, coba beri saja hadiah kepada pengemis-pengemis itu…”
“Jadi, gimana Pak P ?”
“Ya tidak gimana-gimana…, semua itu sudah menjadi lakon (peran)nya..”
“Artinya, semua sudah kehendak Tuhan ?”
“Ya, pastilah, mana ada yang sesuatu yang bisa terjadi di luar kehendakNya ?”
“Jadi, Tuhan merestuinya ?”
“Ya iya lah…”
“Maksudnya ?”
“Yah… Tuhan mempersilakan saja kalau ada manusia yang ingin memanfaatkan neraka ciptaanNya sebagai tempat tinggalnya yang abadi, tiadalah ciptaanNya yang sia-sia”
“Kalau belum waktunya akan muncul Sang Pemimpin (Ratu Adil), apa yang akan terjadi berikutnya ?”
“Bencana, kehancuran, malapetaka, kemarahan rakyat, dan sejenisnya”
“Ih, ngeri dong !”
“Kamu tidak ingin tergilas ?”
“Tentu !”
“Berpkirlah, berkatalah, dan berbuatlah yang baik-baik saja, dan berhati-hatilah (waspadalah) dengan sekelilingmu, karena banyak musang berbulu domba ?”
“Lho, gimana caranya, sementara di satu sisi kita harus berpikir positif tapi di sisi lain, kita harus mencurigai orang juga ?!”
“Dasar anak bodoh !!. Berpikir positif bukan berarti kita harus lengah !, Contoh, jika kita tahu teman kita punya penyakit kleptomania, maka sebelum ia datang, kamu sembunyikan dengan aman barang-barang berharga kamu. Itu namanya tetap berpikir positif, semacam mencegah orang lain berbuat dosa…”
“Okelah kalo begetu…, apa pesan Pak P kepada saya ?”
“Biasa saja, jalani hidup apa adanya, jangan neko-neko (macam-macam), pikirkan apa yang semestinya kamu pikirkan, kerjakan apa yang semestinya kamu kerjakan, jangan lakukan sesuatu yang bukan menjadi tanggung-jawab atau keahlianmu….”
“Lho, kan kemajuan bangsa menjadi tanggung-jawabku juga ?”
“Memangnya kamu ini siapa ?, apa bisa kamu ?, lha wong yang jadi Presiden saja belum tentu bisa, apalagi yang cuma jadi cere seperti kamu ini ?. Sudahlah, kamu pikirkan diri kamu, pekerjaan, dan orang-orang yang menjadi tanggung-jawabmu saja. Kalau semua sudah bersikap seperti itu, beres kok negeri ini.”
“O…, jadi karena orang memikirkan (dapur) orang lain, jadi nggak beres ya negeri ini ?”
“Bukan…, kebanyakan orang justru hanya berpikir untuk mencari celah narasi hukum yang tertulis untuk dijadikan tameng kejahatannya. Makanya, banyak mafia hukum (orang-orang yang bekerja sama untuk memutar-balikkan fakta hukum), mafia peradilan (mereka yang mengatur atau menskenariokan jalannya proses peradilan), makelar kasus (orang yang jual-beli perkara untuk diselesaikannya), dan semacamnya…”
“Padahal, dulu Presiden bisa menyelesaikan masalah perseteruan Polisi dan KPK yang berlarut-larut hanya dengan sekali pidato resmi, berarti Presiden ……”
“Huss !!!”
“Lakukan lagi saja ya…”
“Huss huss huss !!! (sudah tidak berani lagi….)”

23 March, 2010

Sejarah Singkat Penulisan Ilmiah di UG

Filed under: Blogroll — Bambang Wahyudi @ 4:55 pm
Seperti diketahui, bahwa ASKI (Akademi Sains dan Komputer Indonesia) adalah generasi pendahulu dari Universitas Gunadarma. Sebagai akademi, maka silabus yang disediakan untuk enam semester. Lalu, apa “gong” mereka (mahasiswa) untuk dinyatakan lulus setelah menempuh seluruh kewajibannya dalam enam semester ?.
Mengacu pada Perguruan Tinggi Negeri di mana banyak pengajar (dosen) ASKI bernaung, dan berdasarkan pemikiran-pemikiran beliau-beliau, maka ditetapkan, “gong” untuk mahasiswa dinyatakan lulus adalah melaksanakan Seminar Penulisan Ilmiah. Jadi istilah untuk mempertanggungjawabkan PI disebut dengan “Seminar” dan untuk mempertanggungjawabkan skripsi (S1) disebut dengan “Sidang” (ada setelah menjadi Sekolah Tinggi).
Mengapa Penulisan Ilmiah (PI)?
Berdasarkan pengalaman beliau-beliau mengajar, banyak mahasiswa yang tidak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui tulisan ketika diminta membuat tugas-tugas atau latihan. Apalagi jika harus dikaitkan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi jika harus dikaitkan lagi dengan tata cara penulisan keilmiahan, dan satu lagi, seorang alumni, minimal pernah melakukan penelitian ilmiah di masa mereka masih kuliah.
Waktu itu, sangat terbukti, mahasiswa-mahasiswa yang sedang memperoleh tugas PI, kesulitan dalam menyampaikan pikirannya dalam selembar kertas saja (dulu belum banyak contekan atau contoh PI lain). Hanya menulis satu lembar saja saya harus bolak-balik ke Prof. Dali S. Naga (dulu masih S1) dengan coretan yang banyak.
Saya ingat pertanyaan beliau “Apa masalah yang akan Saudara teliti ?”
Saya jawab “Masalah pergudangan, Pak..”
Beliau bilang “Itu bukan masalah !”
Saya bilang lagi “Masalah stok barang, Pak”
Beliau bilang “Itu juga bukan masalah !”
Apapun yang saya jawab, semua dikatakan bukan masalah. Jelaslah jika tulisan saya juga dicoret-coret. Setelah sekian lama, mengertilah saya, ternyata yang disebut dengan masalah adalah “kalimat tanya.”
“Pernah dengar anak kecil bertanya berapa lima ditambah tiga, atau semacam itu ?” tanya Beliau.
“Pernah Pak” jawab saya.
“Itu masalah bagi anak itu, kalau anak itu sudah tahu, bukan lagi masalah baginya, begitu juga Saudara, kalau Saudara sudah tahu jawabannya, maka tidak lagi menjadi masalah” jelasnya.
Pola-pola pikir seperti itu yang sering diabaikan oleh mahasiswa yang akan menyusun PI. Sampai saat ini, banyak tulisan tentang Latar Belakang Masalah di PI setelah dibaca ternyata tidak ada masalahnya, justru yang banyak ada (di banyak PI) adalah judul tulisan, dan tujuan penulisan. Entah ini kelalaian Pembimbing atau memang Pembimbingnya juga tidak mengerti bagaimana menulis tulisan ilmiah ?.
Pertemuan PI di Kelas
Keputusan ini diambil sekitar 10 tahun lalu. Sebelumnya, tidak ada tatap muka di kelas untuk PI. Keputusan itu diambil karena sekitar 90% dari mahasiswa yang belum lulus tepat waktu adalah mahasiswa yang belum menyelesaikan PI-nya.
Jadi, ketika itu ada hambatan kelulusan mahasiswa dari faktor PI. Berdasarkan laporan (di Raker), penyebab terbanyaknya adalah sulitnya menemui dosen pembimbing, dan kesulitan mahasiswa menuangkan pikirannya ke dalam bentuk tulisan. Akhirnya diputuskalah bahwa Dosen Pembiming bertatap muka di kelas dengan bimbingannya sebanyak 8 kali pertemuan. Diharapkan dengan 8 kali pertemuan itu, mahasiswa bisa selesai membuat PInya. Meski harapan ini tidak sepenuhnya bisa direalisasikan. Amati saja, nanti (Juli-Agustus) yang seharusnya merupakan masa-masa libur kuliah, malah di saat itu mahasiswa banyak berkeliaran di kampus. Salah satu keperluannya adalah bertemu dosen pembimbing untuk menyelesaikan PInya.
Kelemahan PI Sekarang
Setelah sekian lama diberlakukan, PI sudah menggunung (berbagai masalah telah dipecahkan di PI) sehingga mahasiswa tidak mungkin mendapatkan masalah baru. Jeleknya, mahasiswa suka sekali mencontoh apa yang sudah ada. Baca saja kalimat atau alinea pertama di Latar Belakang Masalah, hampir semua memuji-muji perkembangan jaman, kemajuan teknologi, dan semacamnya. Padahal itu bukan dijadikan masalah, justru untuk dijadikan penyelesaian masalah yang harusnya ada di Bab Penyelesaian Masalah.
Kelemahan lain adalah dalam hal bahasa pemrograman (khusus untuk komputer), silakan tanya saja jika sedang membimbing atau menguji PI, “siapa yang membuat programnya ?,” sebagian besar menjawab “dibantu teman.” Dibantu sih tidak apa-apa, coba desak lagi dengan pertanyaan “statement …. jni untuk apa ?,” sebagian besar dari mereka mulai terdiam dan tunduk malu.
Jadi, banyak mahasiswa (senior) atau alumni atau rental-rental yang menawarkan pembuatan program komputer kepada pembuat PI, karena masalahnya dari waktu ke waktu ya itu-itu saja, mereka paling modifikasi sedikit programnya.
Kalau sudah begini, gimana ?
Untuk meyakinkan, maka tolong Dosen Pembimbing selalu menanyakan perkembangan penulisan mereka, mulai dari menyusun kata, kalimat, hingga ke pembuatan programnya. Uji ketika mereka mulai membuat.
Ketika saya uji dengan pilihan mana dari kalimat berikut ini yang paling benar, mereka terpecah-belah jawabannya:
1. HUT RI Ke 64
2. HUT Ke 64 RI
3. HUT RI Ke LXIV
4. HUT Ke LXIV RI
5. HUT RI Ke-64
Ada yang menjawab 1, 2, 3, 4, 5 , padahal kelima jawaban di atas tidak ada yang benar….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar