Lambang Presiden Republik Indonesia
Bendera Presiden Republik Indonesia
Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia
Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut
lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan
sejarah Indonesia. Dikatakan hampir sama sebab pada saat
proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian,
18 Agustus 1945, Indonesia memiliki
konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (
|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi.
Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga
legislatif dan lembaga
yudikatif yang memiliki
undang-undang mengenai susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut.
Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian besar diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesulitan di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun
1949–
1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, antara
1999–
2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang masih terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun
2008 atau setidak-tidaknya pertengahan
2009.
Periode 1945–1950
Periode
18 Agustus 1945 –
15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara
18 Agustus 1945 –
27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara
27 Desember 1949 –
15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara bagian dari negara federasi
Republik Indonesia Serikat.
Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal
[1], terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh
MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau
DPR.
Menurut UUD 1945:
- Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
- Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden
- Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
- Presiden menetapkan peraturan pemerintah
- Presiden dibantu oleh menteri
- Presiden dapat meminta pertimbangan kepada DPA
- Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia
- Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain atas persetujuan DPR
- Presiden menyatakan keadaan bahaya
- Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik
- Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
- Presiden memberi gelar dan tanda kehormatan
- Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR
- Presiden berhak memveto RUU dari DPR
- Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam keadaan mendesak.
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950
Pada
18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945.
Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA meminta kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melalui
Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada
16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden berkurang dengan terbentuknya
Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat,
29 Juni 1946 –
2 Oktober 1946, dan
27 Juni 1947 –
3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara
29 Januari 1948 –
27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat
presidensial (bertanggung jawab kepada presiden).
Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di
Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat
Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak bubar. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman
Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat.
Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada
13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat
Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden
Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti
Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat.
Periode 1949–1950
Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950
Pada periode
27 Desember 1949 –
15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara
federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai
negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu
Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada
Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden.
Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (
Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih.
Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus
):
- Presiden berkedudukan sebagai kepala negara
- Presiden merupakan bagian dari pemerintah [pasal 68 (1) dan (2), 70, 72 (1)];
- Presiden tidak dapat diganggu-gugat dan segala pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 74 (4), 118 (2), dan 119];
- Presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar federasi, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara federal maupun negara bagian, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 79 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 79 (4)];
- Presiden maupun mantan presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 148 (1)]
- Hal keuangan presiden diatur dalam UU federal [pasal 78];
- Presiden dengan persetujuan Dewan Pemilih membentuk Kabinet Negara [pasal 74 (1) – (4)];
- Presiden menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 77];
- Presiden menerima pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 76 (2)];
- Presiden menyaksikan pelantikan anggota Senat [pasal 83];
- Presiden mengangkat ketua Senat [pasal 85 (1)] dan menyaksikan pelantikannya [pasal 86];
- Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 104];
- Presiden mengesahkan pemilihan ketua dan wakil-wakil ketua DPR [pasal 103 (1)];
- Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 128 (1) dan (2), 133-135; 136 (1) dan (2), 137, dan 138 (3)];
- Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 187 (1) dan 189 (3)].
- Presiden dengan pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung untuk pertama kalinya [pasal 114 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 114 (4)];
- Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung memberi grasi dan amnesti [pasal 160];
- Presiden dengan pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan untuk pertama kalinya [pasal 116 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 116 (4)];
- Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU federal [pasal 175];
- Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 178];
- Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 183 (1) dan (3)];
- Presiden memberikan tanda kehormatan menurut UU federal [pasal 126].
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler
[3],
presiden, menurut
konstitusi, antara lain:
- Menjalankan pemerintahan federal [pasal 117];
- Mendengarkan pertimbangan dari Senat [pasal 123 (1) dan (4);
- Memberi keterangan pada Senat [pasal 124];
- Mengesahkan atau memveto UU yang telah disetujui oleh DPR dan Senat [pasal 138 (2)];
- Mengeluarkan peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 139];
- Mengeluarkan peraturan pemerintah [pasal 141];
- Memegang urusan hubungan luar negeri [pasal 174, 176, 177];
- Menyatakan perang dengan persetujuan DPR dan Senat [pasal 183];
- Menyatakan keadaan bahaya [pasal 184 (1)];
- Mengusulkan rancangan konstitusi federal kepada konstituante [pasal 187 (1) dan (2)], dan mengumumkan konstitusi tersebut [pasal 189 (2) dan (3)] serta mengumumkan perubahan konstitusi [pasal 191 (1) dan (2)].
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada
19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada
15 Agustus 1950, di hadapan sidang
DPR dan
Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Periode 1950–1959
Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956
Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya
konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan
UUDS 1950.
Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan
konstitusi federal. Dari segi materi,
konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan antara
konstitusi federal milik negara federasi
Republik Indonesia Serikat dengan
konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik
Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan
RIS dan
RI tanggal
19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara
15 Agustus 1950 –
5 Juli 1959.
Menurut
konstitusi sementara,
lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas
seorang presiden dan
seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48].
Presiden dan
wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan hingga ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh
Konstituante. Sebelum menjalankan tugasnya
presiden dan
wakil presiden bersumpah dihadapan
DPR [pasal 47].
Sama seperti
konstitusi federal,
konstitusi sementara mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus
[4]):
- Presiden dan wakil presiden adalah alat perlengkapan negara [pasal 44];
- Presiden dan wakil presiden berkedudukan di tempat kedudukan pemerintah [pasal 46 (1)];
- Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara [pasal 45 (1)];
- Wakil presiden membantu presiden dalam melaksanakan kewajibannya [pasal 45 (2)];
- Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden tidak mampu melaksanakan kewajibannya [pasal 48];
- Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat dan seluruh pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 83 dan 85];
- Presiden dan wakil presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar negara, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara maupun daerah otonom, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 55 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 55 (4)];
- Presiden dan wakil presiden maupun mantan presiden dan mantan wakil presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 106 (1)];
- Hal keuangan presiden dan wakil presiden diatur dengan UU [pasal 54];
- Presiden membentuk kabinet [pasal 50 dan 51];
- Presiden menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 53];
- Presiden dan wakil presiden menerima pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 52 (2)];
- Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 63];
- Presiden mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPR [pasal 62 (1)];
- Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 90 (1), 92, 93, dan 94 (3)];
- Presiden berhak membubarkan DPR dan memerintahkan pembentukan DPR baru [pasal 84];
- Presiden menyaksikan pelantikan anggota Konstituante, dan mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil ketua Konstituante [pasal 136];
- Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 140 (2)];
- Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung atas permintaan sendiri [pasal 79 (4)];
- Presiden memberi grasi, amnesti, dan abolisi dengan pertimbangan Mahkamah Agung [pasal 107];
- Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan atas permintaan sendiri [pasal 81 (4)];
- Presiden memberi tanda kehormatan menurut UU [pasal 87];
- Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 123];
- Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU [pasal 120];
- Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 127];
- Presiden menyatakan perang dengan persetujuan DPR [pasal 128];
- Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 129 (1)].
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler
[5],
presiden (dan
wakil presiden), menurut
konstitusi, antara lain:
- Menjalankan pemerintahan [pasal 82];
- Mengesahkan atau memveto UU yang telah disetujui oleh DPR [pasal 94 (2) dan 95 (1)];
- Mengeluarkan peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 96 (1)];
- Mengeluarkan peraturan pemerintah [pasal 98 (1)];
- Memegang urusan umum keuangan [pasal 111 (1)].
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku jabatan
presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari
RIS dan
RI pada
19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh
wakil presiden untuk pertama kalinya diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh
DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa
lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat.
Dalam perjalanannya jabatan
wakil presiden mengalami kekosongan per
1 Desember 1956 karena
wakil presiden mengundurkan diri. Aturan pasal 45 (4) tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958
presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis berakhir seiring munculnya dekrit presiden
5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut
UUD 1945 yang diberlakukan kembali.
[sunting] Periode 1959–1999
Jend Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998
Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali
konstitusi yang disahkan PPKI pada
18 Agustus 1945 dengan sebutan
UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara
5 Juli 1959 –
19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban
lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dipersilakan melihat kembali masa republik I.
Ada beberapa hal yang menarik dari segi peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut
dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, bagian penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian
lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan hadirnya lembaga
MPR/
MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut
Ketetapan MPR/MPRS. Melalui produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui:
- Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
- Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
- Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
- Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.
- Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
- Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presidan dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Selain itu presiden sebagai mandataris
MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan:
- Ketetapan MPR No. X/MPR/1973 tentang Pelimpahan Tugas dan Kewenangan Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk Melaksanakan Tugas Pembangunan.
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Pengsuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/1983 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Pensuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
- Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999
Dengan landasan hukum tersebut
lembaga kepresidenan, terutama
presiden, menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya.
Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah
MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun
1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat
presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan
“Pejabat Presiden” ketika
Presiden dimakzulkan di tahun
1967. Keempat, penetapan
“Pejabat Presiden” menjadi
Presiden di tahun
1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan
konstitusi baru dilakukan pada tahun
1973, tiga belas tahun setelah
MPR (
MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh
wakil presiden tidak dilakukan di depan
MPR atau
DPR melainkan hanya di depan pimpinan
MPR/DPR dan
Mahkamah Agung saat
presiden mundur dari jabatannya pada tahun
1998. Sebenarnya masih banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dikemukakan.
Gelombang
people power yang dikenal dengan “gerakan
reformasi 1998” yang muncul pada tahun
1998 akhirnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat.
Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998
[6] dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998
[7]. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun berakhir sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power.
[sunting] Periode 1999–2002
K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001
Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan akibat proses perubahan konstitusi
“UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara
19 Oktober 1999 –
10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai akibat dari gelombang
people power yang dikenal dengan
reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban
lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi
[8].
Pada tahun
1999 sebagai akibat
perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
- Jabatan lembaga kepresidenan dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan [pasal 7];
- Presiden dan wakil presiden dapat bersumpah di depan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)];
- Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dengan membentuk UU, melainkan hanya berwenang mengajukan RUU kepada parlemen dan ikut membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (1) – (3)];
- Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen [pasal 20 (4)];
- Presiden tidak dapat lagi memveto RUU dari parlemen, sebab klausul tersebut dihilangkan [pasal 21];
- Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
- Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
- Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].
Pada tahun
2000 sebagai akibat
perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
- Presiden hanya dapat menunda pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama tiga puluh hari [pasal 20 (5)].
Pada tahun
2001 sebagai akibat
perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
- Calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menjadi presiden dan wakil presiden [pasal 6];
- Presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan melalui pemilu dengan ketentuan yang lebih rinci [pasal 6A (1) – (3) dan (5)];
- Presiden dan wakil presiden terpilih dilantik oleh MPR [pasal 3 (3/2)];
- Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3 (4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
- Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
- Presiden mengusulkan dua calon wakil presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
- Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat tertentu harus dengan persetujuan parlemen [pasal 11 (2)];
- Presiden harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian dalam [Kementerian Indonesia|kabinet]] [pasal 17 (4)];
- Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
- Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)];
- Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
- Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
- Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)].
Pada tahun
2002 sebagai akibat
perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
- Proses pemilihan presiden dan wakil presiden dengan persyaratan tertentu [pasal 6A (4)];
- Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
- Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].
Beberapa hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh
MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan
parlemen dan berakibat
dimakzulkannya presiden. Ketiga,
presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada
MPR.
Sebenarnya periode transisi ini tidak berakhir di tahun
2002 melainkan di tahun
2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun
2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada bagian republik VI.
Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004
Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya
konstitusi yang disahkan PPKI setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan
UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai
10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi.
Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari segi ketatanegaraan. Dan dapat dikatakan lembaga-lembaga negara, termasuk
lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”.
Menurut
konstitusi,
lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang
presiden dan seorang
wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan tata cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa jabatan selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode jabatan [pasal 7]. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini dilantik oleh
MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di hadapan
MPR atau
DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan
MPR dan pimpinan
MA jika
parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)].
Secara sistematika
lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari
konstitusi. Namun demikian terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi:
- Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (1) dan pasal 5 (2)];
- Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (2)];
- Wakil Presiden menggantikan presiden jika presiden tidak dapat menjalankan apa yang menjadi kewajibannya [pasal 8 (1)];
- Presiden mengusulkan dua calon wakil Presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
- Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil Presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
- Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3 (4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
- Presiden menetapkan peraturan pemerintah [pasal 5 (2)];
- Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab kepadanya [pasal 17 (1) dan (2)] dan harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian dalam kabinet [pasal 17 (4)];
- Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].
- Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas militer [pasal 10];
- Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 12];
- Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain dan atas persetujuan DPR [pasal 11 (1)];
- Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat tertentu harus dengan persetujuan DPR [pasal 11 (2)];
- Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
- Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
- Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].
- Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
- Presiden dapat mengajukan RUU kepada parlemen dan berwenang untuk ikut membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (2)];
- Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
- Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen [pasal 20 (4)] dan hanya dapat menunda pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama tiga puluh hari[pasal 20 (5)];
- Presiden berhak mengeluarkan peraturan darurat dalam keadaan mendesak [pasal 22 (1)].
- Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
- Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
- Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)];
- Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)].
Periode transisi masih mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun
2002 –
2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama
Ketetapan MPR, yang mengatur
lembaga kepresidenan, secara bertahap
dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu
MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
2004. Selain itu aturan peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun
2004, kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban
lembaga kepresidenan diatur melalui
konstitusi,
UU,
PP, maupun
Perpres. Namun, berbeda dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun
2004, pertama kalinya dalam
sejarah, diadakan pemilihan
lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat.
Soekarno
Soekarno atau lebih umum disebut
Bung Karno, adalah
tokoh presiden pertama dari
Indonesia.
Jabatan pertama ini dimulai sejak
18 Agustus 1945.
Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang
PPKI atas usul
Otto Iskandardinata. Ia didampingi oleh wakil presiden
Drs. Mohammad Hatta atau
Bung Hatta. Menurut aturan yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat besar. Seiring berjalannya waktu kekuasaan
legislatif diserahkan kepada
Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan
Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan
November di tahun yang sama,
Sukarno menyerahkan kekuasaan
eksekutif pada
Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada
29 Juni 1946 –
2 Oktober 1946, dan
27 Juni 1947 –
3 Juli 1947,
Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi keadaan darurat
[9]. Pada
29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk
kabinet presidensil[10]. Wakil presiden
Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dilihat bahwa
presiden dan
wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cidera.
Pada
19 Desember 1948,
Belanda melancarkan
aksi militer menyerang
ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini
Sukarno dan
Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak bubar secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran
Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di
Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan
Mr. A. A. Maramis yang berada di
India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha
Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan.
Syafruddin berhasil membentuk pemerintahan darurat di
Sumatera pada
22 Desember 1948. Namun
Belanda lebih memilih
berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan keadaan pemerintahan ganda. Sampai akhirnya pada
13 Juli 1949, setelah melalui proses yang berliku,
Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada
Moh. Hatta. Pada
16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai
presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada saat yang hampir bersamaan
Hatta terpilih sebagai perdana menteri
negara federasi[12].
Konstitusi federal yang melarang rangkap jabatan bagi
kepala negara federal dan
perdana menteri federal dengan jabatan apapun, mengharuskan
Sukarno dan
Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Keadaan ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka
ketua parlemen diangkat menjadi
Pemangku Jabatan Presiden. Akhirnya pada
27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan
lembaga kepresidenan kepada
Ketua Badan Pekerja KNI Pusat,
Mr. Asaat Datuk Mudo.
Pada
27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang pertama sebagai
presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam jabatan
presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara
pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara bagian yang tersisa, pemerintah negara bagian
Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara bagian
Negara Sumatera Timur) dan
pemerintah negara bagian Republik Indonesia (yang beribukota di
Yogyakarta) memilih
Sukarno sebagai presiden
negara kesatuan yang akan dibentuk dari penggabungan
RIS dengan
RI (Yogyakarta). Jabatan
presiden federal dipangku
Sukarno sampai tanggal
15 Agustus 1950. Jabatan ini dapat dihitung sebagai
masa jabatan kedua bagi
Sukarno. Pada tanggal itu
presiden federal memproklamasikan berdirinya
negara kesatuan dihadapan sidang gabungan
DPR dan
Senat di
Jakarta. Sore harinya
Bung Karno terbang ke
Yogyakarta untuk membubarkan
pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari
Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke
Jakarta pada hari yang sama
Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari
perdana menteri RIS.
ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978
Pada
15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi
presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan
RIS dan
RI (Yogyakarta). Jabatan ini dapat dihitung sebagai
jabatan ketiga bagi
Sukarno. Keesokan hari tanggal
16 Agustus 1950,
Presiden melantik
DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari
DPR (
RIS),
Senat (
RIS),
Badan Pekerja KNI Pusat(
RI-Yogyakarta), dan
DPA (
RI-Yogyakarta). Sesuai
konstitusi,
Sukarno mengangkat
Hatta sebagai
Wakil Presiden atas usulan dari
DPR Sementara. Bagi
Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai
masa jabatan kedua. Sesuai
konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk
kabinet. Sampai awal
1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam
kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun
1956, tanggal
1 Desember 1956,
Hatta mengundurkan diri dari jabatan
wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya
“dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya.
UUD Sementara tidak mengatur pemilihan
wakil presiden dan menyerahkannya pada
konstitusi yang akan disusun oleh
Konstituante. Keadaan yang kian genting menyebabkan
Sukarno mengeluarkan
SOB pada
1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan
Sukarno sebagai Penguasa
Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan
dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan,
UUD 1945, serta membubarkan
konstituante yang tak kunjung selesai menyusun konstitusi tetap.
Sukarno tetap menjabat presiden berdasar aturan peralihan pasal II
konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula
DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi
DPR Peralihan[14] sampai ditetapkan
DPR yang baru menurut
konstitusi. Jabatan ini dapat dihitung sebagai
jabatan presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai
masa jabatan keempat bagi
Sukarno. Sementara itu, aturan peralihan pasal III dan IV
konstitusi sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak didampingi oleh
wakil presiden maupun
Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada
presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan
presiden.
DPR Peralihan pun dibubarkan pada
24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan
Sukarno[15]. Sebagai gantinya
Sukarno membentuk
DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun
1960,
Presiden dapat membuat produk
legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan
parlemen. Pada
Desember 1960 Sukarno membentuk
MPR Sementara untuk melaksanakan ketentuan dalam
konstitusi. Peranan
Sukarno semakin besar dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang berisi DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dalam bidang
legislatif. Melalui UU No 19 tahun 1964
Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan
peradilan.
MPRS bentukan
Sukarno mengeluarkan sebuah produk
konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide
Pemimpin Besar Revolusi dan akhirnya menetapkan
Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa jabatan seumur hidup pada
1963 tanpa didampingi
wakil presiden. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada
Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara
[18]. Periode ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kelima bagi
Sukarno. Pada periode ini
Sukarno menggunakan gelar rangkap
“Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi
“Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun
1966-
1968 sebagai akibat badai politik tahun
1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami
sang proklamator. Pada tahun
1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai ditanggalkan oleh
MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Besar Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan
Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akhirnya pada
22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada
pejabat presiden dan dilegalisasi dengan
Ketetapan MPRS No. XXXIII/
MPRS/
1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno, presiden Indonesia
dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada
12 Maret 1967[19].
Jend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988
Jenderal TNI Suharto atau yang akrab disapa
Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari
Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai sejak
27 Maret 1968. Pak Harto diangkat oleh
MPR Sementara dengan
Ketetapan MPRS No. XLIV/
MPRS/
1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai
Presiden Republik Indonesia. Ia adalah presiden kedua yang ditetapkan oleh
MPR Sementara. Dalam masa jabatannya yang pertama ini suami
Ibu Tien tidak didampingi oleh
wakil presiden sebagaimana diatur menurut
konstitusi. Sebagai mandataris
MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut.
Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang diangkat oleh
MPR hasil pemilu.
Pada tahun
1973 pertanggung jawaban
Jenderal TNI Suharto dihadapan
MPR hasil
pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini diangkat oleh lembaga yang sama sebagai
presiden dari calon tunggal pada
24 Maret 1973[20]. Dalam masa jabatannya yang kedua
Pak Harto didampingi oleh
wakil presiden,
ISKS Hamengku Buwono IX,
Sultan sekaligus Kepala
Daerah Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berjalan dengan urutan yang mudah diikuti relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi jabatan.
Pada tahun
1978 pertanggung jawaban
Suharto dihadapan
MPR hasil
pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama
purnawiran jenderal ini kembali diangkat oleh
MPR dari calon tunggal
[22]. Dalam masa jabatan yang ketiga kalinya,
Pak Harto didampingi oleh
Adam Malik sebagai
wakil presiden[23]. Secara matematis,
Suharto diangkat sehari lebih cepat dari jatah masa jabatannya. Selanjutnya pada
1983, lagi-lagi pertanggung jawaban
Pak Harto diterima. Bahkan
MPR hasil
pemilu 1982 memberinya gelar
Bapak Pembangunan. Pada
11 Maret 1983,
sang purnawirawan kembali diangkat oleh
MPR untuk menduduki
kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal
[24]. Menurut hitung-hitungan angka ia diangkat tiga belas hari lebih cepat dari masa jabatannya yang seharusnya berakhir pada
23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya
Pak Harto didampingi oleh
purnawirawan militer,
Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai
wakil presiden[25].
Tahun
1988, kembali pertanggung jawaban
jenderal kelahiran desa
Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun menduduki
kursi kepresidenan,
Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh
MPR hasil
pemilu 1987 pada
11 Maret 1988[26]. Dalam masa jabatan kelimanya bapak pembangunan ini didampingi
wakil presiden dari kalangan
militer,
Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun
1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada
11 Maret 1993, setelah menggenapi masa jabatannya,
Jenderal TNI (
Purnawirawan)
Haji Muhammad Soeharto diangkat untuk menduduki jabatan presiden keenam
[28]. Lagi-lagi
MPR hasil
pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Kini ia didampingi oleh mantan
panglima militer,
Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai
wakil presiden[29].
Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993
Maret 1998, ditengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban
Pak Harto diterima oleh
MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya ia menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa jabatan yang seharusnya dijalani, pada tanggal
10 Maret 1998 Jenderal Besar TNI (
Purnawirawan)
Haji Muhammad Soeharto, diangkat dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh
MPR hasil
pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya ia didampingi oleh seorang sipil,
Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai
wakil presiden[31]. Berbagai tekanan harus dihadapi
sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya ia bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak ia lakukan. Pimpinan
MPR/
DPR pada waktu itu sempat meminta mundur sang presiden atau menggelar
Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada
pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri
Sukarno. Dan akhirnya pada
21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya akibat gelombang people power
“Gerakan Reformasi 1998”.
Baharuddin Jusuf Habibie
Baharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga
Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada
21 Mei 1998.
Habibi menggantikan
presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari
luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai
presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan
parlemen. Namun, karena gedung
parlemen diduduki oleh pendukung
people power yang menyebabkan para
legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah jabatan kepresidenan hanya dilakukan oleh
Pak Habibi di depan pimpinan
MPR/
DPR dan disaksikan oleh pimpinan
Mahkamah Agung. Beberapa bulan setelahnya
MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya
Sukarno (
1963) dan
Suharto ([[1968],
1973,
1978,
1983,
1988,
1993, dan
1998).
Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui melalui kedudukan
Habibi di dalam
Ketetapan MPR No. X/
MPR/
1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan
ia tidak didampingi oleh
wakil presiden.
Catatan yang diraih oleh
presiden kelahiran
Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan
pemilu 1999 yang menghasilkan
parlemen baru. Namun
parlemen baru yang dipilih melalui pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban
presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada
parlemen[32]. Pada
19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi
presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum
MPR 1999.
Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998
] Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal
19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Ia diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ia mengalahkan rivalnya
Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR memilih rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang beralih dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu
pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.
Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai
23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Ia adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab ia hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini didampingi oleh Wakil Presiden
Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya
Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR diangkat sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya adalah
Pemilu Legislatif pada
April 2004 serta
Pemilu Presiden pada
Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah melalui dua putaran pemilihan. Ia mengakhiri masa jabatan pertamanya pada
20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya.
[sunting] Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014
Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada
20 Oktober 2004. Ia bersama pasangannya
Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk kedua kalinya di hadapan sidang MPR pada
20 Oktober 2009. Kali ini ia didampingi oleh
Boediono sebagai wakil presiden.
Pejabat sementara
Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949
Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia ditunjuk dengan radiogram yang berisi mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada
18 Desember 1948. Oleh sebab
Bukittinggi yang menjadi tempat kedudukannya juga diserang
Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak berkedudukan di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban,
Sumatera Barat ia pergi ke
Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan
Mei 1949, ia membentuk perwakilan PDRI di pulau
Jawa. Ia berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada
Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Setelah melalui berbagai proses berliku akhirnya Syafruddin bersedia mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Kedudukan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, baik secara
de facto maupun
de jure, masih diperdebatkan apakah sah atau tidak.
Assaat, Pemangku Jabatan Presiden Indonesia 1949–1950
Assaat adalah Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. Jabatannya dimulai pada
27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan jabatan Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Ia menjabat sebagai pemangku jabatan presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Jabatan Presiden". Jabatan tersebut diembannya hingga
15 Agustus 1950 saat ia menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada
19 Mei 1950.
Sartono
Sartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang diketahui mengenai tokoh ini. Satu-satunya petunjuk yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara
13 Januari 1958 –
17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal
17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai kedudukannya, tokoh ini akan dimasukkan
[33].
Soeharto
Soeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada
22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada
12 Maret 1967. Ia menjadi pejabat presiden sebagai ketentuan dari
Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang dipilih oleh
MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada
27 Maret 1968, karena keadaan politik saat itu, ia mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditetapkan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu.
Polemik periode dan pejabat
Periodisasi jabatan lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu diperhatikan beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.
- Siapakah yang menduduki jabatan lembaga kepresidenan. Apakah cukup presiden dan wakil presiden saja. Ataukah presiden dan wakil presiden serta pejabat presiden (atau sebutan lainnya).
- Apakah dapat diakui suatu pemerintahan ganda, dalam artian pada saat yang sama terdapat dua lembaga kepresidenan.
- Apakah penentuan naik dan turunnya seorang tokoh dalam lembaga kepresidenan hanya berdasarkan aturan dalam konstitusi. Atau berdasar konstitusi dan surat pengangkatan/pelantikan (atau sebutan lain). Ataukah lagi hanya berdasarkan pada ketokohan semata, dalam artian satu tokoh dihitung satu masa jabatan tanpa memedulikan berapa kali ia menjabat.
- Perlukah suatu daftar resmi dari negara untuk tokoh yang menduduki lembaga kepresidenan beserta periodisasinya agar dapat diketahui secara pasti.
Sebagai ilustrasi, dapat dilihat pada kasus
Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 ia membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina.
Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dilihat disini bahwa ia menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berbeda. Presiden Macapagal pada
1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari
4 Juli (hari ketika
Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada
1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi
12 Juni (hari ketika
Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari
Spanyol pada
1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Ia juga mengakui
Jose P. Laurel yang dijadikan Presiden Filipina oleh tentara pendudukan
Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah
Perang Dunia II, karena dianggap tidak mempunyai status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dilihat bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina,
Ng Pangulo Ng Pilipinas.
Periodisasi masa jabatan maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku jabatan untuk yang pertama kalinya.
Soekarno memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan presiden, antara lain:
- Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik akhir keluarnya Supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 11 Maret 1966
- Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 22 Februari 1967
- Jika RIS dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15 Agustus 1950 hingga 22 Februari 1967
- Jika RIS dihitung terpisah dan masa PDRI dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 18 Desember 1948, 13 Juli 1949 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15 Agustus 1950 hingga 22 Februari 1967
- Jika RIS dihitung terpisah, masa PDRI dihitung ganda, dan naik turun jabatan berdasarkan pada konstitusi dan ketetapan MPRS dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, 15 Agustus 1950 hingga 18 Mei 1963, dan 18 Mei 1963 hingga 22 Februari 1967
Mohammad Hatta memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan wakil presiden, yaitu:
- Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan mengabaikan jeda RIS maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 1 Desember 1956
- Jika jeda RIS dihitung dan naik-turun jabatan berdasarkan pada konstitusi maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949 dan xx/xx/1950 hingga 1 Desember 1956.[
Syafruddin Prawiranegara memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
- Jika jabatan “Ketua Pemerintahan Darurat” diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal telegram yang dikirim lembaga kepresidenan dari Yogyakarta, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
- Jika jabatan "Ketua Pemerintahan Darurat" diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal pembentukan PDRI di Sumatera Barat, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
- Jika jabatan “Ketua Pemerintahan Darurat” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan maka masa jabatannya: tidak diakui/tidak pernah ada.
Assaat memiliki 2 kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
- Jika jabatan “Pemangku Jabatan Presiden diakui” diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan serta kedudukan RI yang beribukota di Yogyakarta diakui berdiri sendiri (walau hanya negara bagian) selama periode RIS (memiliki ketatanegaraan yang berbeda dengan RIS), maka masa jabatannya adalah sejak 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950
- Jika jabatan “Pemangku Jabatan Presiden” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan serta kedudukan negara bagian RI yang beribukota di Yogyakarta tidak diakui berdiri sendiri selama periode RIS (telah lebur menjadi RI), maka masa jabatannya tidak diakui.
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009
Soeharto memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, antara lain:
- Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik awal keluarnya supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 11 Maret 1966 hingga 21 Mei 1998
- Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik awal pengangkatan resmi sebagai pejabat presiden oleh MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Februari 1967 hingga 21 Mei 1998
- Jika naik turun jabatan berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Februari 1967 hingga 27 Maret 1968, 27 Maret 1968 hingga 24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga 1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11 Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan 10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998
- Jika naik turun jabatan berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden tidak dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 27 Maret 1968 hingga 24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga 1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11 Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan 10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978.
Adam Malik memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983.
Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 hingga 1988.
Sudharmono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 hingga 1993.
Try Sutrisno memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 hingga 1998.
Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
- Sebagai wakil presiden sejak 11 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998.
- Sebagai presiden sejak 21 Mei 1998 hingga 19 Oktober 1999.
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
- Sebagai wakil presiden sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
- Sebagai presiden sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Hamzah Haz memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 hingga saat ini.
Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009.
Boediono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 hingga saat ini.
Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa jabatan lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa jabatan tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada
over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berbeda.
Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Pejabat ke | Nama pejabat | Masa jabatan | Jabatan ke | Periode ke |
1 | Soekarno | 18/08/1945-22/02/1967 | 1 | 1 |
2 | Soeharto | 22/02/1967-21/05/1998 | 1 | 2 |
3 | Habibie | 21/05/1998-19/10/1999 | 1 | 3 |
4 | Abdurrahman Wahid | 19/10/1999-23/07/2001 | 1 | 4 |
5 | Megawati Soekarnoputri | 23/07/2001-20/10/2004 | 1 | 5 |
6 | SBY | Mulai 20/10/2004 | 1 | 6 |
Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014
Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Pejabat ke | Nama pejabat | Masa jabatan | Jabatan ke | Periode ke |
1 | Soekarno | 18/08/1945-27/12/1949 | 1 | 1 |
2 | Syafruddin Prawiranegara (PDRI) | 22/12/1948-13/07/1949 | 1 | 2 |
1 | Soekarno (RIS) | 27/12/1949-15/08/1950 | 2 | 3 |
3 | Assaat (RI) | 27/12/1949-15/08/1950 | 1 | 4 |
1 | Soekarno | 15/08/1950-18/05/1963 | 3 | 5 |
1 | Soekarno | 18/05/1963-22/02/1967 | 4 | 6 |
4 | Soeharto | 22/02/1967-27/03/1968 | 1 | 7 |
4 | Soeharto | 27/03/1968-24/03/1973 | 2 | 8 |
4 | Soeharto | 24/03/1973-23/03/1978 | 3 | 9 |
4 | Soeharto | 23/03/1978-11/03/1983 | 4 | 10 |
4 | Soeharto | 11/03/1983-11/03/1988 | 5 | 11 |
4 | Soeharto | 11/03/1988-11/03/1993 | 6 | 12 |
4 | Soeharto | 11/03/1993-10/03/1998 | 7 | 13 |
4 | Soeharto | 10/03/1998-21/05/1998 | 8 | 14 |
5 | Habibie | 21/05/1998-19/10/1999 | 1 | 15 |
6 | Abdurrahman Wahid | 19/10/1999-23/07/2001 | 1 | 16 |
7 | Megawati Soekarnoputri | 23/07/2001-20/10/2004 | 1 | 17 |
8 | SBY | 20/10/2004-20/10/2009 | 1 | 18 |
8 | SBY | Sejak 20/10/2009 | 2 | 19 |
Kedua contoh di atas memperlihatkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi.
[sunting] Catatan kaki
- ^ dalam artian bukan merupakan suatu kolektivitas
- ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata Presiden
- ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata pemerintah bukan kata presiden, namun lazimnya tindakan pemerintah tersebut dilakukan oleh kepala negara
- ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata Presiden
- ^ pasal-pasal yang secara tertulis menggunakan kata pemerintah bukan kata presiden, namun lazimnya tindakan pemerintah tersebut dilakukan oleh kepala negara
- ^ Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila
- ^ Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila
- ^ Sebagai acuan awalnya adalah kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan republik IV. Dan sebagai acuan akhirnya adalah kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan republik VI
- ^ Pengambil alihan kekuasaan pemerintahan negara dilakukan dengan Maklumat Presiden Tahun 1946 Nomor 1 dan Maklumat Presiden Tahun 1947 Nomor 6]]
- ^ Pembentukan Kabinet Presidensil yang dikenal dengan nama Kabinet Hatta I pada 29 Januari 1948 dilakukan dengan Maklumat Presiden 1948 No. 3 jo Maklumat Presiden 1948 No. 2. Selain itu pada 4 Agustus 1949 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil yang dikenal dengan Kabinet Hatta II dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1949
- ^ Sukarno dilantik menjadi Presiden RIS oleh Ketua Mahkamah Agung pada 17 Desember 1949 di Bangsal Sitihinggil Kraton Yogyakarta. Ia dipilih, dari calon tunggal, oleh Dewan Pemilihan Presiden RIS yang bersidang pada 15-16 Desember 1949
- ^ Hatta dilantik menjadi Perdana Menteri RIS pada 20 Desember 1949
- ^ SOB = Staat van Oorlog en Beleg (negara dalam keadaan perang dan darurat). Pada 14 Maret 1957, satu setengah jam setelah Kabinet Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandat kepada presiden, Sukarno mengeluarkan dekrit Negara Dalam Keadaan Darurat Perang. Kemudian pada 17 Desember 1957, ia meningkatkan status bahaya menjadi Negara Dalam Keadaan Perang. Status SOB baru dicabut pada 1 Mei 1963
- ^ mulai 22 Juli 1959
- ^ DPR Peralihan dibubarkan Sukarno dengan Penetapan Presiden (Penpres) No 3 tahun 1960
- ^ Susunan DPR Gotong Royong (DPR-GR) ditetapkan dengan Penpres No 4 tahun 1960
- ^ Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup
- ^ Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan
- ^ Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 ditetapkan/dikeluarkan oleh MPRS pada 12 Maret 1967 namun diberlakukan surut hingga 22 Februari 1967 untuk menghindari vacuum of power dalam negara
- ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1973 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- ^ Sultan Yogyakarta diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1973 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. X/MPR/1978 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- ^ Adam Malik diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1978 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1983 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- ^ Umar Wirahadikusumah diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1983 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. V/MPR/1988 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- ^ Sudarmono diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1988 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1993 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- ^ Pak Try diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. V/MPR/1993 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- ^ Pak Harto diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1998 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
- ^ Pak Habibi diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1998 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
- ^ Pidato pertanggung jawaban Habibi ditolak oleh MPR dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie
- ^ Jika UU No 7 tahun 1949 masih berlaku maka kemungkinan besar Sartono adalah ketua DPR kala itu
- ^ lihat penjelasan umum UUD 1945 dan risalah sidang BPUPKI/PPKI
- ^ Ada kesulitan mengenai tanggal pengangkatan Hatta karena belum ada data pasti. Menurut konstitusi wakil presiden diangkat dari calon yang diusulkan oleh DPR Sementara dan DPR Sementara baru dilantik pada 16 Agustus 1950 maka paling cepat Hatta diangkat dalam jabatan wakil presiden pada hari yang sama
Referensi